Wednesday 4 July 2012

PERKEMBANGAN ETNIS CINA DI LASEM TAHUN 1945-1965 (Perjalanan, Posisi dan Peranannya)




Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Lisan Universitas Negeri Semarang

Ucapan terimaksih Saya Ucapkan kepada teman-teman se-team:



SETYA AGUNG PRIYATMAJA

ARIS FAJAR YULIANTO

DENY DWI PURNOMO

RIRIN MEGA SARTIKA

WAHYU DWI AJI
                       



BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya majemuk. Masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang terbagi-bagi dalam sub-sub sistem yang berdiri sendiri-sendiri dan terikat kedalam ikatan primordial. Keanekaragaman masyarakat Indonesia dapat dilihat dari etnis, agama, adat-istiadat, dan lain sebagainya. Etnis Tionghoa adalah salah satu bagian dari keanekaragaman penduduk Indonesia. Etnis Tionghoa atau lebih dikenal sebagai orang Cina sampai sekarang ini merupakan kaum minoritas. Namun demikian, kaum ini memiliki peran aktif dan berhasil dalam perekonomian Negara Indonesia.
Orang Cina pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 413 M. Mereka adalah pendeta agama Budha yaitu Fa Hien dan Hwui Ning, mereka singgah di pulau Jawa. Namun pada waktu itu, tidak ada orang Cina yang tinggal di pulau Jawa. Ketika orang-orang Fuhien dari Canton pergi ke pulau Jawa untuk mencari rempah-rempah, mereka banyak menetap di daerah pelabuhan pantura.
Kedatangan orang-orang Cina ke pulau Jawa dapat diketahui dari perjalanan yang dilakukan oleh Laksamana Cheng Ho ke berbagai wilayah di pulau Jawa pada awal abad ke-14. Kapal-kapal yang berlayar berasal dari negara-negara asing, termasuk Cina yang mendarat di Tuban, Gresik, dan Majapahit. Pada masa itu, Lasem termasuk bagian dari kekuasaan Majapahit. Hal ini menyebabkan Lasem menjadi tempat tinggal bagi beberapa orang Cina yang bekerja sebagai penjaga gerbang, orang sampan, maupun pedagang-padagang.
Lasem merupakan sebuah kota kecil di pesisir utara Jawa Tengah yang terletak diantara kota Rembang dan Tuban. Lasem mempunyai sejarah panjang tentang perkembangan etnis Cina. Di sinilah bangsa Cina pertama kali mendarat di pulau Jawa. Lasem, sesungguhnya merupakan Tiongkok berskala kecil.
Kedatangan orang Cina di Jawa, terutama di Lasem dan beberapa tempat lain di wilayah ini melahirkan kebudayaan baru. Kebudayaan ini merupakan intisari dari adat-istiadat Cina yang kemudian diadopsi menjadi adat daerah yang tidak luntur dari budaya Tionghoa sendiri. Masyarakat Cina di wilayah Jawa terutama di Kecamatan Lasem lebih membaur dibandingkan dengan masyarakat Eropa. Hal ini dipengaruhi oleh komunikasi yang baik dari masyarakat lokal dengan masyarakat Tionghoa sendiri. Masyarakat Jawa menganggap masyarakat Cina sebagai pedagang yang ulet dan terampil sehingga banyak pedagang lokal yang meniru cara berdagang masyarakat Cina.
Para imigran Cina yang telah menetap selama lebih dari dua atau tiga generasi dan berbaur dengan penduduk setempat menjadi terbiasa dengan bahasa dan adat-istiadat dimana mereka berada. Para imigran Cina yang telah berbaur dengan penduduk setempat tersebut kemudian mempunyai perhatian yang cukup besar pada kebudayaan lokal dan perkembangan perekonomian daerah dimana mereka menetap. Hal tersebut dapat tercermin dalam berbagai aspek kesenian Jawa. Pengaruh dalam kesenian Jawa tampak jelas pada seni batik, khususnya pola dan ragam hias dan warna yang digunakan, seperti dapat dijumpai pada batik Cirebon, Pekalongan, dan Lasem. Sejumlah orang Cina yang berasal dari keluarga Cina yang telah cukup lama menetap dan berbaur di Jawa, kemudian ada yang berkembang menjadi ahli seni dan pelindung kesenian Jawa, bahkan ada dari mereka yang terjun menjadi penulis jawa.
wawancara dengan bapak Lim Peng Sun /Edy Suyanto
Gelombang migrasi orang-orang Cina yang ke Indonesia meningkat pesat sejak abad ke-19. Seiring perkembangan jaman, dikarenakan adanya pembagian stratifikasi sosial berdasarkan kriteria ras, maka keberadaan etnis Cina di Indonesia membentuk suatu kelompok masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu kawasan yang disebut “ kampung pecinan “. Etnis Cina di kawasan pecinan Lasem mempunyai keunikan, karena memiliki kebudayaan, kepercayaan, dan agama yang berbeda dengan masyarakat pribumi atau Jawa, mereka membuat wilayah atau kawasan yang terpisah dengan penduduk asli. Di Kecamatan Lasem terdapat sebuah kawasan yang menjadi tempat tinggal dari masyarakat Tionghoa dan menjadi tempat berkembangnya budaya Cina asli.
Perkembangan kebudayaan Cina di Lasem yang berlangsung secara spiral sejak kedatangan bangsa Cina sampai masa berakhirnya Orde Baru berlangsung mengalami banyak perubahan. Pada awal Orde Baru berlangsung, Presiden mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang membatasi ruang gerak etnis Cina. Hal ini dilakukan pemerintah Orde Baru untuk mengurangi kesenjangan penduduk asli dengan orang Cina. Pada masa Orde Baru inilah perkembangan etnis Cina di Indonesia khususnya di Lasem mengalami pasang surut.
Di Lasem, penduduk asli sangat menghormati adat-istiadat dan kebudayaan masyarakat Cina. Bahkan sebagian besar dari mereka memeluk agama Islam, Kristen, Katolik, atau Budha sebagai kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa (Monografi Kecamatan Lasem tahun 1980-1998). Dalam pembaurannya masyarakat Cina di Lasem sangat menghormati adat-istiadat penduduk asli, begitu juga hal yang sama dilakukan penduduk asli sehingga terjalinnya hubungan yang baik antara etnis Cina di Lasem dan penduduk asli.
 
A.    Keadaaan Geografis Kota Lasem
Lasem adalah sebuah kota kecil yang letaknya diantara kota Rembang di Jawa Tengah dan Tuban di Jawa Timur. Keberadaan Etnis Cina di Lasem dipengaruhi oleh letak dan keadaan geografis di kecamatan Lasem. Lasem merupakan salah satu wilayah yang menjadi bagian Kabupaten Rembang yang seluas 1.014,48 km2 dan terletak di jalur pantai utara Jawa yang menghadap laut di sebelah utara dan membelakangi hutan jati di selatan, di sebelah barat berdiri Gunung Argopuro dan di sebelah timur terbentang sawah yang luas, berada pada posisi koordinat 642 Lintang Selatan dan 11125 Bujur Timur.
Secara geografis daerah Lasem dibagi menjadi tiga yaitu :
a.    Daerah pantai yang berpusat di Caruban kelurahan Gedungmulyo dan desa Bonang.
b.    Daerah dataran rendah yang terdapat di sekitar kota Lasem yang dialiri sungai Babagan.
c.    Daerah pegunungan dengan puncak-puncaknya antara lain Gunung Ngeblek, Gunung Sarto dan sebagai puncak tertinggi adalah Gunung Argopuro.
Batas wilayah administratif Lasem adalah sebelah utara berbatasan dengan laut Jawa, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Rembang, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pancur, dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Sluke.
Iklim di daerah Lasem terdiri dari musim kemarau yang jatuh pada bulan Juni sampai dengan Oktober, musim pancaroba mulai bulan Nopember sampai dengan Desember atau dari April sampai Mei, dan penghujan pada bulan Januari sampai Maret serta kondisi tanah yang kering dan curah hujan yang tidak begitu banyak dengan pegunungan-pegunungan di daerah Lasem menyebabkan pertanian tidak begitu menguntungkan bagi masyarakat.
Kecamatan Lasem terdiri dari 23 desa yang masing-masing membawahi beberapa Dukuh diantaranya : Karangturi, Gedungmulyo, Soditan, Babagan, Ngemplak, Selopuro, Karasgede, Sumbergirang, Dasun, Pabean, Jolotundo, Kauman, Doro Kandang, Tulis, Warugunung, Polandak, Kajar, Caruban, Goak, Tluweg, dan Gambiran.

B.     Sejarah Masuknya Etnis Cina Di Kota Lasem
Kecamatan Lasem mempunyai karakteristik yang berbeda dengan kecamatan-kecamatan lain. Hal ini disebabkan oleh keunikan-keunikan yang jarang ditemui di kecamatan-kecamatan lain terutama disepanjang pantai utara Jawa. Salah satu diantaranya adalah adanya pecinan. Pecinan adalah wilayah atau kawasan yang dihuni oleh orang-orang Cina dan kawasan tersebut terdapat pemukiman atau rumah tinggal dan rumah persembahan (Klenteng), disamping itu adanya budaya Cina yang kental. Pecinan di kecamatan Lasem memiliki perbedaan debgan pecinan yang lain.
Kawasan pecinan Lasem masih sangat kental dengan budaya Tiongkok bahkan kota Lasem dapat disebut juga sebagai Tiongkoknya Jawa (The Tiongkok of Java).............BACA SELENGKAPNYA >>
wawancara dengan Sejarawan Lasem Bp.Slamet Wijaya
Berdasarkan sumber-sumber Cina, bangsa Cina telah mengenal Jawa sejak awal abad pertama masehi. Hal tersebut di tunjukkan oleh catatan Cina tentang terdamparnya pendeta Budha, Fa Hsien yang sering disebut Fa Hian/Fa Xian dan Hwui Ning di sebuah pulau yang bernama “Ya-Wa-Di”. Pendeta Fa Hian tinggal di Jawa selama 5 bulan setelah berlayar selama 90 hari dalam perjalanan dari Sri Lanka ke Kanton pada tahun 414 M. “Ya-Wa-Di” adalah transliterisasi Cina dan toponim Jawa Dwipa sebutan Jawa dalam teks Sansekerta. Selain itu, sejumlah benda prasejarah yang ditemukan di Indonesia menunjukkan terjadinya interaksi bangsa Cina dengan Nusantara. Berbagai kapak batu Neolitikum yang di temukan memiliki persamaan dengan kapak giok/zamrud yang ditemukan di Tiongkok dan berasal dari zaman yang sama. Hal tersebut dilaporkan oleh Ma Huan, seorang sekretaris dari Admiral Zheng He (Cheng Ho) yang melakukan ekspedisi ke Asia Tenggara atas perintah Pemerintahan Ming. Ma Huan menggambarkan mengenai pesatnya pertumbuhan pemukiman imigran Cina di kota-kota Gresik, Surabaya, dan sejumlah kota-kota di pantura (Kumar, 1996 : 201-202). Menurut N. J. Krom, sudah ada hunian-hunian orang Tionghoa selama jaman Majapahit (1294–1527) sebelum kedatangan Zeng-He (Cheng-Ho). Orang-orang Cina datang ke Jawa sebagai pedagang dan sedikit membuat hunian. Dalam puncak kejayaan kerajaan Majapahit pada abad ke-4, kaum ningrat Jawa sudah memakai barang mewah dari Cina, seperti pakaian dan porselen
Kedatangan bangsa Cina ke Lasem tidak diketahui secara pasti. Pada zaman Dinasti Ming, sekitar tahun 1303 Saka/sekitar tahun 1381 M, Laksamana Cheng-Ho melakukan ekspedisi ke Nusantara dan tinggal di Lasem. Kedatangan perdana Laksamana Cheng Ho ini merupakan pembaharuan yaitu dibukanya lahan baru bagi etnis Cina dalam perdagangan, yaitu mendirikan kongsi-kongsi dagang di wilayah Jawa. Di samping itu juga adanya unsure politik dan budaya yang ikut berperan dalam kedatangan Cheng Ho ke wilayah Jawa terutama di Lasem. Politik dan budaya yang di bawa Cheng Ho dimaksudkan akan adanya hubungan yang terjalin baik dengan kerajaan-kerajaan di Jawa. Sedangkan aspek budaya yang Cheng Ho bawa adalah penyebaran agama Islam, dimana penyebaran Islam di Jawa berlangsung secara damai sehingga masyarakat menerima dan belajar. Sehingga kedatangan Cheng Ho ke Lasem dapat diterima dengan baik.
Laksamana Cheng Ho yang kurang lebih 7 kali melakukan perjalanan ke Jawa. Dalam sebuah perjalanan ekspedisi Cheng Ho yaitu kira-kira pada tahun 1335/tahun 1413 M, pada masa dinasti Ming salah satu anak buah Cheng Ho yang menjadi nahkoda dan bangsawan dari negeri Campa yang bernama Bie Nang Oen melabuhkan kapal di pantai Bonang. Selanjutnya tempat dimana Bie Nang Oen berlabuh disebut Binangun. Bie Nang Oen ingin menetap di Lasem untuk menyebarkan agama Islam diantara orang-orang pribumi. Kemudian Bie Nang Oen membawa seluruh keluarganya dengan keperluan menetap disebuah bidang tanah di daerah Kemendhong, Lasem yang sudah diberikan kepadanya oleh Pangeran Wira Braja.
Kedatangan bangsa Cina ke pesisir utara Jawa tidak terhenti begitu saja. Pada abad ke-13 sampai abad ke-19, pedagang dari Gujarat (India) dan Cina banyak melakukan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Perjalanan yang ditempuh disebut jalan atau jalur sutra, jalan sutra merupakan jalan yang dilewati para pedagang dalam perdagangan yang melewati India, Cina, Malaya (Malaysia), Sumatra, dan Jawa. Jalur perdagangan tersebut melalui darat dan sebagian besar melalui laut. Untuk jalur perdagangan darat, menggunakan tenaga kuda dan kerbau sebagai transportasi. Dimana wilayah jangkauannya meliputi kota kerajaan yang jauh dari laut, seperti wilayah Jawa yaitu di kerajaan Majapahit. Barang yang diperdagangkan berupa keramik, kain sutra, rempah-rempah dan kerajinan logam lain yang dapat diperdagangkan. Pada saat terjadi perang atau geger pecinan dan pembunuhan missal yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda terhadap orang-orang Cina di Jakarta, maka orang-orang Cina tersebut kemudian bergerak menuju sungai-sungai besar di pedalaman dengan menggunakan jalur laut dan beberapa diantaranya menuju Lasem.
Selain itu pada awal abad ke-19, bencana alam dan gejolak politik menyebabkan terjadinya perang yang tidak berkesudahan di daratan Tiongkok yang mengakibatkan banyak orang Tionghoa meninggalkan negerinya untuk mencoba memperbaiki kehidupannya di negeri orang. Jutaan orang Tionghoa menyebar mulai dari Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, Thailand, Burma, Kamboja, Malaysia, Singapura. Mauritius, Afrika Selatan, Eropa, Amerika Utara, Amerika Selatan, kepulauan Pasifik, sampai Indonesia. Kabar adanya tanah baru yang menjanjikan di selatan (Indonesia) merupakan berita yang sangat menarik bagi orang-orang Cina, maka terjadilah gelombang imigran besar--besaran terjadi.
Para imigran Tionghoa yang dating ke Lasem tidak hanya berasal dari satu kelompok suku bangsa. Akan tetapi mereka berasal dari berbagai suku bangsa di negeri Tiongkok dan tempatnya pun saling berjauhan atau terpisah.
Suku bangsa Hokkian yang mendiami pemukiman Cina di Lasem berasal dari daerah Fukien Selatan dan merupakan imigran terbesar di Negara-Negara Asia pada abad ke-19. Suku ini memiliki sifat dagang yang kuat dan keahlian dagang ini telah dikenal sejak lama. Hal ini dikarenakan daerah asal suku Hokkian adalah pusat perdagangan di Cina daratan bagian selatan. Di Lasem dengan sifat ulet mereka, perdagangan baik kecil maupun besar dapat dikuasai.
Sudut Pecinan Lasem Desa karangturi
Suku bangsa Hokka yang berdiam di Lasem berasal dari provinsi Guandong di bagian Cina Selatan. Suku ini lebih suka merantau ke daerah seberang lautan. Dengan keadaan geografis yang berupa pegunungan kapur yang tandus sehingga sulit untuk pengembangan pertanian, mendorong suku ini mencari penghidupan di daerah lain, termasuk Lasem. Orang Hokka adalah orang yang paling miskin diantara orang Tionghoa yang lain.
Suku bangsa lain yang membentuk pemukiman di Lasem adalah Tie Ciu dan Kwang Fu yang berasal dari pantai utara Cina, yaitu didaerah pedalaman Swatow di bagian timur provinsi Kwantung. Suku ini kemudian meninggalkan Lasem karena mereka menjadi kuli tambang dan pekerja perkebunan di luar Jawa (Koentjoraningrat, 1979 : 347-348). Orang-orang Cina ini lebih dikenal sebagai Cina Totok dan Cina peranakan yang memiliki perbedaan lafal ucapan, sosial budaya, corak pendidikan, adat istiadat dan kekerabatannya. Pada waktu agresi militer Belanda II, jumlah orang-orang Cina meningkat yaitu kurang lebih 6000 orang tinggal di daerah Lasem dan Pamotan (wawancara dengan Bapak Akrom Unjia, 19 November 2010).
Pada saat yang sama pemerintah Hindia Belanda yang kemudian menguasai Indonesia, mempunyai kepentingan untuk pengembangan usaha dagangnya. Belanda membuat persyaratan-persyaratan kontrak dagang yang lebih menguntungkan orang Cina dibandingkan dengan pribumi. Dengan demikian para pedagang Cina menjadi agen utama yang dominan dalam perekonomian di pulau Jawa. Pada dekade pertama abad ke-20 pedagang Cina yang kaya menjadi orang-orang terkemuka di kota-kota besar di pulau Jawa. Sumber Belanda menyebutkan bahwa,
…..” The prosperity of Lasem port may be attribute to the western Asians and the Chinese, who come there to collect pepper “.
“ every year two or three junks left Lasem for port of Chinese moslem to bycloves, sugar and opium “.

…..” Kemakmuran pelabuhan-pelabuhan Lasem mungkin disebabkan oleh pedagang Asia Barat dan orang-orang Cina yang berkunjung disana untuk mengambil lada “.
“ setiap tahun . dua atau tiga ping meninggalkan pelabuhan Lasem ke Bandar-bandar muslim Cina untuk membeli cengkeh, gula dan candu.
Adanya persaingan antara pedagang Cina dan pemerintah Hindia Belanda maka terjadilah perseturuan. Perseturuan tersebut berujung pada pembantaian terhadap orang-orang Cina. Pada saat Belanda melakukan pembantaian orang-orang Cina di Lasem terjadi perlawanan dari orang Cina dan pribumi Lasem yang dipimpin oleh orang Tionghoa yaitu Tumenggung Widyadiningrat atau Oei Ing Kiat. Perlawanan tersebut mendapat bantuan dari kerajan Demak maka terjadilah perang besar-besaran di Lasem, akan tetapi pertempuran tersebut dapat diredam pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi pemerintah Hindia Belanda mengkawatirkan adanya perlawanan susulan, maka pemerintah Belanda mengambil langkah dengan mengangkat Wirabraja sebagai Adipati. Pada masa pemerintahan Wirabraja inilah pemukiman etnis Cina yang tersebar di berbagai daerah di Lasem dijadikan satu wilayah (dialokasikan yaitu di sebelah selatan pantai Lasem).

C.    Terbentuknya Kawasan Pecinan di Kota
wawancara dengan Bp.Akron Ujia, dan Bp. Erwartono
Tidak ada yang menjelaskan dimana hunian pertama kali orang Tionghoa, dikarenakan kedatangan orang Tionghoa ke Lasem dalam periode waktu yang berlainan. Dalam sejarah Indonesia, orang Tionghoa menjual barangbarang kerajinan seperti keramik, kain sutra dan kerajinan-kerajinan yang dapat di ekspor. Sedangkan pedagang pribumi memberikan hasil bumi mereka. dari tahun ke tahun kedatangan mereka bukan hanya untuk berdagang tetapi menjadi warga. Menempati tempat-tempat kosong untuk pemukiman, pertanian dan kongsi dagang.
Sedangkan di Lasem terbentunya pemukiman pecinan diperkirakan sejak kedatangan Bi Nang Un dan keluarganya di Lasem sekitar tahun 1335 Saka. Kemudian pemerintah daerah memberikan lahan Bi Nang Un mendirikan pemukiman. Semakin lama imigran Cina semakin banyak dan lahan yang disediakan pun semakin kecil. Adanya perluasan wilayah, etnis Cina kemudian menyebar ke pelosok wilayah Lasem, Pamotan, Rembang, Sale, dan daerah yang kiranya dapat dijadikan sebagai lahan pertanian yang luas. Baru pada masa Pangeran Wirabraja menempatkan orang-orang Cina satu kawasan terpisah dengan orang pribumi, yang menyebabkan daerah Kumedung sampai Tegal Bentung menjadi wilayah imigran Cina. Orang-orang Cina tersebut bermukim di daerah-daerah yang telah dihuni oleh orang Cina sehingga terbentuklah pemukiman yang disebut “ Pecinan “.
Sejarah panjang kedatangan bangsa Cina di Lasem hingga membentuk kawasan tidak bisa lepas dari kehidupan sosial mereka terhadap penduduk asli (Jawa). Keberadaan etnis Cina yang lama membuat mereka mengerti tentang seluk beluk kebudayaan Jawa yang mempengaruhi keberadaan meraka sebagai imigran yang baik. Mayoritas orang Tionghoa tinggal di rumah-rumah yang dekat alun-alun  Kawasan pecinan Lasem yang digunakan bermukim sejak dahulu berada di tepi jalan raya. Beberapa daerah yang menjadi kawasan pecinan Lasem dari tahun ke tahun diantaranya Kumedung, Tegal Bentung, Gedung Mulyo, Soditan, Karang Turi, Sumbergirang, dan Babagan.


BAB II
ISI

  1. Keadaan Ekonomi Etnis Cina di Kawasan Pecinan Lasem (1945-1965)
Dalam bidang perekonomian,etnis Cina di kecamatan Lasem umumnya memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bekerja dibidang jasa dan perdagangan. Pada awal kedatangannya, etnis Cina yang bertempat tinggal di kawasan pecinan Lasem selain bermata pencaharian sebagai pedagang juga menjadi petani dengan menanam tebu dan tanaman pangan lain. Hal ini dikarenakan orang Cina memiliki pengetahuan tentang teknologi pertanian yang lebih maju.
Klenteng Poo An Bio Lasem dibangun Abad 16 M
Pada tahun 1945 sampaidengan tahun 1965 orang-orang Tionghwa telah menguasai perekonomian kota Lasem bahkan jauh sebelum itu mereka sudah menguasai sektor perekonomian.Pada abad 14 kapal-kapal Cina dating dan singgah di Lasem melalui pelabuhan Ndasun.Mereka juga menggunakan sungai babagan (sungai yang membelah kota Lasem) untuk lalulintas perdagangan maka tak mengherankan kalau mereka sekarang atau saat itu mendirikan bagunan di sekitar sungai Bagan tersebut.Dan jika kita lihat sekarang banyak berdiri bangunan-bangunan Cina yang masih utuh berusia ratusan tahun dan jika orang melihatnya bagaikan kota Cina masa lalu.(wawancara dengan bapak Selamet Wijaya, 18 November 2010)
Para petani Cina yang memiliki kemampuan dalam teknik pembuatan gula kemudian menanam tebu dan memprosesnya sampai menjadi gula. Hal ini banyak menyebabkan munculnya pabrik-pabrik gula. Salah satu pabrik yang pertama kali dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Van Den Bosch pada tahun 1830 yaitu pada masa tanam paksa (Cultuur Stelsel) adalah pabrik gula di Dukuh Tulis yang termasuk bagian Kelurahan Selopuro.
Gula-gula yang telah dibuat kemudian dipasarkan oleh pedagang yang mayoritas etnis Cina didalam maupun diluar daerah dengan menggunakan lokomotif pengangkut gula dari pabrik gula ke stasiun Lasem untuk dibawa keluar daerah.
Selain menjadi petani, orang-orang Cina di Lasem juga banyak yang menekuni kegiatan perdagangan dan industri. Pada masa kerajaan, orang Cina di Lasem terkenal dengan pedagang beras. Etnis Cina di kawasan pecinan Lasem juga memanfaatkan berbagai kekayaan alam dan budaya tersebut dengan membeli barang-barang tersebut dari penduduk setempat untuk dijual kembali baik didalam maupun diluar daerah. Hal ini mengakibatkan etnis Cina menguasai perekonomian di kecamatan Lasem, dimana sebagian besar sektor perdagangan dan industri besar dikuasai oleh etnis Cina. (wawancara dengan Bapak Slamet Wijaya, 18 November 2010).
Dalam perkembangannya etnis Cina di kecamatan Lasem banyak membantu mengembangkan perekonomian yang terpuruk. Keterpurukan ini karena tidak berfungsinya pelabuhan Lasem yang ada pada masa sebelumnya menjadi Bandar pardagangan  dari masa Islam sampai kolonialisme Belanda dan juga matinya pabrik-pabrik yang dulunya mendukung dan menopang perekonomian Lasem.

  1. Interaksi Antara Etnis China Dan Penduduk Pribumi (1945 -1965)
Hubungan sosial etnis Cina dengan masyarakat pribumi di kawasan pecinan Lasem dipengaruhi oleh keragaman etnis dan lingkungannya. Masyarakat Tionghoa di Lasem terbentuk sebagai hasil dari aktivitas individu yang tidak terorganisir (Koentjaraningrat, 1979 :347-348). Adanya interaksi dengan warga dan budaya baru etnis Cina yang baru datang banyak mengalami kesulitan dalam berinteraksi salah satunya adalah kesulitan berkomunikasi dengan asli karena bahasa yang berbeda. Setelah memahami bahasa pribumi, maka terjadilah interaksi sosial diantar warga Tionghoa dengan masyarakat pribumi.
Pada masa kerajaan, orang-orang Tionghaoa telah menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat dan memiliki kebebasan untuk berhubungan dengan masyarakat lain, termasuk masyarakat Kraton. Karena masyarakat Cina di Lasem bersifat terbuka dan mau menerima tradisi sosial masyarakat yang sudah ada yaitu masayarakat Jawa. Pedagang-pedagang Cina yang ulet dalam menjalankan usahanya kemudian banyak yang bermigrasi ke daerah lain dan berinteraksi dengan masyarakat yang baru. Walaupun mereka jauh dari kampung halaman namun mereka dapat berhasil dan berkembang baik (wawancara dengan Bapak Akrom Unjiya, 18 November  2010).
Mereka tidak mau menonjol, cina yang berbaur dengan orang jawa mempertahankan karakter mereka.berusaha untuk menyatu dengan penduduk pribumi tapi tidak mau menonjol dan berusaha jangan sampai terjadi perselisihan. Mereka Justru berusaha untuk menyelamatkan komunitas mereka yang selalu berfokus pada bidang perdagangan. Lewat perdaganganlah mereka bisa berbaur dengan penduduk pribumi, karena itu memang karakter mereka. Hubungan pribumi dengan penduduk Tionghwa baik. Respon orang muslim dengan orang cina baik juga bahkan salah satu kiai Lasem mendukung adanya barongsai. Banyak peninggalan bisa dilihat sampai sekarang seperti galangan kapal di Dasun,bangunan Cina dan 3 buah klenteng. (wawancara dengan Bapak AkromUnjiya, 18 November  2010)
Sudut Pecinan Lasem sepi dan Kurang terawat
Sekarang ini masyarakat Cina yang ada di pecinan Lasem sudah hampir serupa dengan masyarakat asli (Jawa) baik dari segi fisik maupun kebudayaannya sehingga sulit membedakan antara orang Cina dan Jawa. Bahkan mualaf Cina (orang Cina yang memeluk agama Islam) maupun yang beragama Islam menjalankan kepercayaan dan adat istiadat yang sama dengan penduduk asli sehingga pembauran dengan warga pribumi berlangsung dengan baik tanpa meninggalkan kebudayaan Tiongkok mereka.
Pada dasarnya factor-factor pendukung yang mempengaruhi hubungan sosial orang-orang Cina di pecinan Lasem dengan masyarakat asli (Jawa) adalah sebagai berikut :
1.    Menetapnya orang Cina sudah cukup lama.
2.    Agama yang dianut oleh sebagian besar warga Cina di kota Lasem adalah Islam.
3.    Sebagian orang-orang Cina sudah menikah dengan masyarakat asli (Jawa).
4.    Masyarakat di pecinan Lasem sangat menghormati adanya budaya asli (Jawa) begitu juga penduduk asli (wawancara dengan Bapak Mulyadi, 31 Desember 2010).
Pendidikan juga menjadi faktor utama dalam kehidupan sosial masyarakat Cina di kawasan pecinan Lasem. Mereka memiliki keyakinan bahwa dengan adanya peningkatan pendidikan maka akan terjadi peningkatan ekonomi serta sosial masyarakat. Dengan begitu masyarakat Cina Lasem mempunyai pemikiran untuk belajar bersama dengan penduduk pribumi. Kemudian dengan masuknya Islam, yang juga dibawa saudagar-saudagar Cina bahkan dengan adanya beberapa wali yang keturunan orang Cina mempererat hubungan sosial masyarakat sehingga hubungan masyarakat Jawa dan Cina menjadi semakin kompleks.

  1. Keadaan Budaya Etnis Cina Di Kawasan Pecinan Lasem (1945 -1965)
Pecinan Lasem sepi dengan tembok yang menjulang tinggi
Keadaan budaya etnis Cina di Lasem masih menerapkan sistem tradisional yaitu kepercayaan yang sudah ada sejak dahulu (adat istiadat dari leluhur). Tradisi yang berlaku didalam masyarakat yang masih dilestarikan memperkuat keseimbangan hubungan-hubungan sosial, yang kesemuanya itu menimbulkan rasa aman dan tentram dengan kepastian terhadap permasalahan yang dihadapi.
Dalam bidang agama, mayoritas penduduk Lasem merupakan orang Islam taat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya masjid, mushola, dan pondok pesantren yang dibangun. Demikian halnya dengan kawasan pecinan Lasem, terdapat penduduk Cina Lasem yang menjadi umat Islam yang taat dan aktif dalam kegiatan-kegiatan Islam seperti halnya orang-orang Cina yang menganut agama Kristen protestan maupun Katholik yang juga aktif dalam kegiatan gereja, meskipun di wilayah tersebut terdapat beberapa Klenteng.
Kebudayaan Cina di Lasem sangat banyak diantaranya perayaan-perayaan etnis Cina di kawasan pecinan Lasem yang memiliki jenis dan ragam yang berbeda-beda baik suku maupun kepercayaan, misalnya perayaan-perayaan yang dilakukan oleh orang Cina yaitu dengan perayaan “ Cap Go Meh “ di klenteng “ Gie Yong Bio “, Babagan. Perayaan ini tidak terlepas dari sejarah perjuangan pribumi dan etnis Cina yang saling bahu membahu menentang kolonialisme (wawancara dengan Bapak Muhari, 18 November 2010). Selain perayaan “ Cap Go Meh “ juga terdapat “ Tradisi Klenteng “. Tradisi Klenteng adalah kunjungan masyarakat di klenteng-klenteng di kawasan pecinan Lasem. Kunjungan klenteng tersebut dapat menjadi bagian dari upacara yang diselenggarakan secara periodik, biasanya pada hari besar atau bulan-bulan tertentu sesuai dengan kepercayaan. Terdapat tiga klenteng di Lasem yang disebut Trimurti ; pertama klenteng Cu An Kiong di Dasun, kedua klenteng Poo An Bio di Karang Turi dan ketiga klenteng Gie Yong Bio di Babagan. (wawancara dengan Bapak Supriyanto,18 November 2010)
Meskipun terdapat perbedaan agama ataupun kebudayaan, masyarakat di kecamatan Lasem tetap terjalin hubungan yang baik antara etnis satu dengan yang lainnya. Orang-orang Cina di Lasem tetap mempertahankan kebudayaan leluhurnya walaupun pada perkembangannya unsur-unsur budaya yang menghambat kelangsungan hidup akhirnya mereka lepaskan.
Orang-orang Cina di Lasem banyak memberikan kontribusi dalam pembangunan di kecamatan Lasem, seperti pengadaan sarana penunjang pendidikan masyarakat, saran untuk kepentingan umum seperti saluran air bahkan ikut membantu pembangunan masjid. Hal yang sama dilakukan warga asli (Jawa) yang sebagian besar orang Islam dalam kegiatan-kegiatan di pecinan Lasem, sering ikut dan memeriahkan kegiatan-kegiatan etnis Cina dan juga keikutsertaan mereka dalam perenovasian Klenteng-klenteng dan rumah-rumah milik etnis Cina. Pemerintah daerah juga ikut terjun dalam memelihara peninggalan sejarah yang berarti di kecamatan Lasem. Disamping sebagai kegiatan sosial yang dilakukan oleh pemerintah daerah, pemeliharaan pelestarian peninggalan sejarah dapat terjaga sebagai bukti keberadaa etnis Cina yang membawa nuansa Cina di Lasem.

D.    Peran etnis Cina dalam mengisi kemerdekaan
Gerbang rumah di pecinan Lasem
Perkembangan sejarah yang cukup lama Cina Lasem sudah ada sejak abad 14 hingga 16 menurut pakar sejarah. Gelombang migrasi Cina ke tanah Jawa jaman majapahit mengalami pasang surut dalam posisi eksistensinya. Pada awal kemerdekaan memukul posisi mereka artinya dalam bidang sosial, politik dan ekonomi. Pasca kemerdekaan secara politik posisi mereka mengambang walaupun mereka ikut pergolakan lewat kegiatan perniagaan. Sebelum penjajah datang orang-orang cina berusaha mencari jati diri mereka di tanah Jawa serta jaman Belanda mereka mendapatkan posisi yang lebih tinggi dari penduduk pribumi karena mereka masuk dalam golongan penduduk asing non-Eropa, sisi unik dari Lasem adalah sejak berabad-abad sebelumnya sudah bisa berbaur sehingga jika terjadi pergolakan tidak begitu terlihat. Sebagai barometer pecinan di Jawa pelabihan Lasem dan etnis Cina tidak dapat dipisahkan karena mereka menguasai perekonomian. Dalam menjalankan perekonomian mereka biasa melakukan perdagangan candu gelap dari luar negeri ke Indonesia dan sebaliknya melalui pelabuhan Dasun Lasem. Saat penjajahan dan awal kemerdekaan mereka masih bisa bertahan dan dalam posisi aman karena kegiatan perdagangan mereka masih bisa bertahan dan menjalankan perekonomian lewat kegiatan perdagangan antar pulau atau antar negara.
Pada jaman Jepang posisi meraka pun ngambang, apakah ikut Jepang atau Indonesia. Saat kondisi global yaitu berkembangnya komunis dan kapitalis mereka bingung karena membawa nama besar Tiongkok, jadi tidak mungkin pro dengan kapital. Dalam beberapa teks hal perjuangan kemerdekaan sedikit banyak dari mereka lewat perekonomian dengan penyelundupan barang-barang dan senjata lewat pelabuhan Dasun, pelabuhan Semarang dan Batavia. Ini jelas merupakan kebebasan yang luar biasa yang diberikan Belanda kepada warga Tionghoa karena semua lini diawasi secara ketat oleh penjajah terutama kegiatan orang-orang pribumi. Mungkin orang Cina adalah pendatang jadi penjajah tidak curiga dan tidak akan membantu bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pasca kemerdekaan secara politik posisi mereka ngambang walaupun sebenarnya mereka ikut pergolakan lewat kegiatan perdagangan. Secara sosial budaya sudah tejalin lama hubungan dengan warga pribumi, mereka bisa menguasia lini-lini tertentu terutama pereonomian sampai kemerdekaan bahkan pasca kemerdekaan. Secara budaya jalan tanpa prasangka dengan warga asli, sebenarnya sentimen kebudayaan sudah ada sejak dulu, sentimen itu lebih mengutamakan transisi kebudayaan mereka. Ini bentuk eksistensinya mereka yang diterima oleh warga Lasem sejak dulu karena tidak lepas dari proses perkembangan mereka yang selalu minoritas. Jumlah mereka sekitar 2,5% seJawa otomatis terbesar populasinya seIndonesia. Berbeda dengan Pecinan Semarang dan Surabaya yang bisa berkembang dengan cepat karena berada di Ibu Kota Propinsi yang bisa mendapatkan berbagai fasilitas.
Setelah tahun 1945-1950 posisi mereka tidak begitu eksis dalam pergolakan kemerdekaan mereka memilih aman saja. Belanda menang Tionghoa aman, republik ada Tionghoa juga aman karena posisi mereka belum jelas. Oleh Bung Karno tahun 1950 kebijakan RI sudah mulai terlihat, Soekarno merekrut semua etnis dan agama serta aliran-aliran politik (komunis dan agamis) tapi sangat mengenal kapitalis. Masa itu adalah masa yang tidak pernah putus pergolakan sampai dengan pecahnya peristiwa G 30 S/PKI mereka tetap belum menonjol, tahun 1965 disini banyak beberapa orang Cina yang masuk PKI, tapi sebagian kecil yang ikut itupun bikan dijadikan tokoh dalam organisasi ini namun hanya berpartisipasi saja. Justru orang Jawa sendirilah yang menjadi tokoh-tokoh PKI di Lasem.
Ketika Lasem menjadi distrik, Rembang adalah kota administrasi. Lasem lengkap fasilitasnya seperti stasiun, kantor pos, rumah sakit, dan sebagainya. Sebenarnya plannya sudah bagus, setelah merdeka mengalami disintegrasi. Etnis Tionghoa disini tidak bisa eksis diluar, karena tinggal yang tua-tua saja yang tinggal di Lasem, sedangkan yang muda merantau. Jadi sekarang Lasem sulit berkembang dan cenderung dan keadaannya tetap dari jaman dulu.



BAB IV
KESIMPULAN

Sebuah kota bukanlah merupakan hasil cipta satu generasi. Sebuah kota akan terus tumbuh dari satu generasi ke genersi lainnya. Pada dasarnya bentuk kotayang ada  sekarang merupakan proses interaksi antar generasi. Bentuk kota yang ada sekarang merupakan lapisan-lapisan (layers) dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang telah mengalami perkembangan dan saling bertumpukan (superimposed). Jadi bentuk kota sesungguhnya merupakan kolasi-kolasi sejarah. Yang penting dalam pemekaran sebuah kota adalah bagaimana menciptakan suatu perkembangan yang mampu memberikan kesan yang berkesinambungan  bagi warga atau penghuninya.
Dalam bidang perekonomian, etnis Cina di pecinan Lasem sangat membantu dalam mengembangkan kota Lasem, dalam bidang perdagangan dan produksi. Sehingga etnis Cina di pecinan Lasem merupakan penunjang dalam laju perekonomian kawasan pecinan bahkan kecamatan Lasem. 
Lasem sebuah kota tua yang sudah berumur ratusan tahun. Perkembangan kotanya dari satu generasi ke generasi lainnya selalu dipicu oleh perkembangan permukiman orang China yang disusul dengan pendirian kelenteng sebagai pusat orientasi kehidupan masyarakatnya (pada waktu itu).
Sekarang perkembangan kota Lasem seolah-olah mengalami suatu diskontinuitas dengan masa lalunya. Oleh sebab itu pengetahuan perkembangan kota dimasa lalu perlu dicermati sebagai bekal untuk perkembangan dimasa datang. Kota Lasem sekarang ini seolah-olah mengalami suatu disorientasi dalam perkembangannya. Dengan mengambil kelenteng sebagai salah satu ‘tengaran’ (landmark), diharapkan bisa dipakai sebagai pemicu dalam menciptakan kembali sense of continuity bagi perkembangan kota nya. Tentu saja dalam alam reformasi ini kita harus menghilangkan prasangka dan mengedepankan pluralitas yang hidup dalam masyarakat yang majemuk ini.
Searah jarum jam: Aris, Aji', Agung, Bp.Supriyono (penjaga Klenteng Poo An Bio), Deny
 Warning!! HAK CIPTA KARYA ADA PADA PENULIS HARAP MENCANTUMKAN SUMBER BLOG (LINK BLOG) APABILA MEMPERGUNAKANNYA UNTUK KEPENTINGAN ILMU PENGETAHUAN

DAFTAR PUSTAKA

Unjia, M. Akrom. 2008. Lasem, Negeri Dampo Awang. Rembang : _
Hasil wawancara dengan :
·         Bapak Muhari (kepala desa Karang Turi)
·         Bapak Suwanto (keamanan desa/BABINSA Karang Turi)
·         Bapak Supardi (perangkat desa)
·         Bapak Edi Suyanto/Liem Peng Sun (Ketua RT 2 desa Karang Turi)
·         Bapak Slamet Wijaya (sejarahwan Lasem)
·         Bapak Akrom Munjia dan bapak Erwantoro (Penulis buku dan Anggota Fokmas)
·         Bapak Supriyono (Penjaga klenteng Poo An Bio Karang Turi).













2 comments:

  1. Sip!!!!! Ayo ramekno Lasem Fest 2013 ben kampung pecinan karangturi ogak sepi. (suara wong Lasem). hehehehe #LCHS

    ReplyDelete