Tuesday 20 September 2011

Batik Cap Kuda Lasem (Batik Akulturasi Budaya Lokal & Tiong Hoa)

Papan arah menuju Batik Tulis Cap kuda

Batik Tulis Lasem Cap Kuda
Desa Gedongmulyo Gang IV/1 Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang
Jawa Tengah 59271

Narasumber : Bapak Purnomo 56 tahun (pemilik batik tulis Lasem Cap Kuda)

Batik Lasem telah lama menjadi icon yang membuat nama Rembang banyak dikenal hingga tingkat Nasional bahkan Internasional, karena uniknya Batik Lasem banyak pecinta Batik mencarinya menurut mereka warna khas merah darah dan motif burung Phoenix yang menjadi daya tariknya yang tidak dimiliki batik lain di Indonesia, untuk lebih jelasnya berikut wawancara saya bersama Bapak Purnomo 56 Tahun pemilik Batik tulis Lasem cap Kuda :
Apa yang membuat Batik Lasem banyak dicari pak?
. "Batik Lasem itu lucu dan manis. Jadi banyak orang  yang suka", demikian dituturkan oleh  bapak Purnomo. Pengusaha batik asal Lasem yang juga keturunan Tiong Hoa, selain memproduksi ia juga punya hobi mengoleksi batik tulis tradisional pesisiran dan pedalaman Pulau Jawa. Hingga kini koleksinya sudah mencapai 1.400-an helai. Bila dipukul rata panjang setiap kain 2 m lalu dibentangkan, seluruhnya mencapai 2,8 km panjangnya, atau kira-kira 7 kali lintasan atletik. Malah bisa jadi jauh lebih panjang dari itu karena kebanyakan lebih dari 2 m panjangnya, bahkan ada yang hampir 4 m, meski ada juga yang kurang dari 2 m.
Bagaimana perkembangan Batik Tulis Lasem dan apa tantangannya?
Lasem, selain disebut Kota Pecinan, Kota Santri dan Kota Tua, juga dikenal sebagai Kota Batik Tulis. Memang, dibanding dengan Solo dan Pekalongan, batik Lasem bisa dibilang ketinggalan. Sebab dua kota tersebut sekarang mengembangkan batik printing yang bisa diproduksi pabrik.Memang batik tulis mempunyai nilai seni cukup tinggi, sehingga nilai jual batik juga cukup mahal sesuai dengan rumitnya dan lamanya pembuatan batik tulis. Tetapi konsumen dari batik tulis ini juga terbatas, yakni dari kalangan penggemar batik berbau seni dan kalangan menengah ke atas mengingat harganya cukup mahal. Beruntung, sekarang ini ada batik tulis yang harganya cukup murah. Yakni, antara Rp 50.000-Rp 60.000 per potong, sehingga terjangkau oleh masyarakat menengah ke bawah jadi bisa lebih memperkenalkan batik ke masyarakat luas.

Bagaimana Pemkab Rembang memposisikan komoditas Batik Lasem ini?
Batik tulis Lasem merupakan salah satu komoditas unggulan industri kecil di Kabupaten Rembang selain komoditas yang lain. Seperti bordir, kerajinan kuningan di Jolotundo Lasem, mebeler, perikanan (ikan asin) dan lainnya. Batik Tulis Lasem merupakan peninggalan nenek moyang dan berkembang mulai pertengahan abad ke-17. Sentra Batik Tulis Lasem antara lain di Gedongmulyo, Karangturi, Soditan, Selopuro, Sumbergirang dan Babagan di Kecamatan Lasem. Kemudian Desa Jeruk dan Karahkepoh, Kecamatan Pancur.
Berapa jumlah pengusaha batik di Lasem dan berhasil menyerap berapa tenaga kerja?
Jumlah unit usaha Batik Tulis Lasem saat ini mencapai 175 unit usaha. Tetapi yang aktif dan besar hanya sekitar 15 pengusaha. Dari jumlah itu berhasil menyerap tenaga kerja dari perajin maupun pegawai lainnya sebanyak 1.590 orang. Kemudian kapasitas produksi mencapai sekitar 38.900 potong per tahun.
Dimana saja daerah pemasaran dari produksi Batik tulis cap Kuda?siapa konsumennya?
Daerah pemasaran Batik Tulis Lasem cap Kuda antara lain meliputi Semarang, Cirebon, Serang, Surabaya dan di Sumatra (Medan dan Padang). Segmen pasar Batik Tulis Lasem masih didominasi kelas menengah ke bawah khususnya kelompok umur orang tua dan dewasa. Segmen pasar kalangan menengah ke atas khususnya pecinta seni dan aliran naturalisme kini sedang digarap serius oleh para pengusaha Batik Tulis Lasem untuk menyesuaikan harga produk yang memang cukup mahal.Selain mendapat tekanan persaingan dari batik printing dalam hal pemasaran, kendala yang dihadapi Batik Tulis Lasem ke depan adalah kemungkinan terputusnya generasi pembatik.
Bagaimana kondisi para pekerja di sini? Apakah ada kendala pelestarian batik?
Saat ini sebagian besar perajin batik masih didominasi para orang tua yang sudah berusia lanjut. Dan membatik bagi mereka hanya merupakan pekerjaan sampingan di sela-sela mengerjakan sawah dan kebun.Sementara itu, kaum muda kurang berminat untuk belajar membatik, karena dinilai kurang menjanjikan. Kendala lain adalah mahalnya harga bahan baku batik berupa kain mori. Kain mori masih harus didatangkan dari luar daerah, sehingga harganya cukup tinggi.

Usaha Dalam melestarikan Batik Lasem?
“Tahun lalu kami sebenarnya sudah menawarkan kepada pemkab agar di sekolah-sekolah SD-SMA mulai diperkenalkan membatik melalui kegiatan ekstrakurikuler. Tetapi hal itu nampaknya belum mendapat tanggapan serius dari dinas pendidikan nasional. Ini saya sampaikan dalam rangka mencari generasi penerus pembatik yang teracam kehilangan genarasi,” . Dia menyatakan, sebenarnya siap datang ke sekolah-sekolah untuk menularkan ilmu membatik kepada murid SD-SMA dalam kegiatan ekstra kurikuler. Tetapi beberapa sekolah yang sempat dihubungi menyatakan tidak ada biaya untuk kegiatan seperti itu. “Kami sebenarnya ingin menjaring calon pembatik dari kalangan anak-anak sekolah, siapa tahu di antara mereka ada yang berbakat menggambar batik yang baik, sehingga ke depan batik tulis Lasem tidak kehilangan generasi pembatik”.
Dari generasi keberapa bapak dalam menjalani usaha ini? Jumlah tenaga kerja dan produksinya?
Dia mengaku sebagai generasi ke empat dari keluarganya yang meneruskan usaha batik tulis ini. Agar usahanya tetap eksis dan terus berjalan, dia terpaksa merekrut sejumlah tenaga muda khususnya dari ibu-ibu muda yang tidak mungkin pergi bekerja ke luar daerah dari beberapa desa sekitar. Misalnya dari Desa Pohlandak, Karaskepoh dan lainnya. Usahanya sekarang memperkejakan sekitar 30 orang. Produksinya mencapai sekitar 300 potong/bulan.Batik Tulis memang rumit dan memerlukan waktu cukup lama. Sejak dari bahan dasar mori sampai jadi potongan batik bisa memerlukan waktu antara 10-20 hari. Tergantung dari terik matahari. Jika pada musim penghujan seperti sekarang, satu potong batik baru bisa selesai sampai 20 hari. Tetapi jika panas matahari cukup, dalam 10 hari saja sudah selesai. Lantaran rumitnya pembuatan batik tulis, maka harganya pun cukup mahal.
Berapa harga Batik Lasem produksinya Bapak?
Satu potong batik dengan kain sedang harganya Rp 300.000/potong. Kalau kain dasarnya baik, harganya satu potong bisa mencapai Rp 2 juta."Sekarang jarang yang membuat batik lasem. menyampaikan hal itu sambil menunjukkan motif kawung dari sepotong kain batik lasem. Kain itu dia jual seharga Rp 65.000 per potong kepada pembeli. "Kain ini murah karena batikannya biasa. Tidak halus," katanya.

Galeri Penjualan Batik Lasem Cap Kuda, Jln. Sultan Agung, Lasem

Sejarah singkat tentang batik Tulis Lasem?
Saya prihatin sekarang sudah jarang orang yang membatik kain di Lasem, sebuah kecamatan yang kaya dengan tradisi, khususnya tradisi Tionghoa, di Kabupaten Rembang. Pembatik kain batik lasem kebanyakan adalah keturunan Tionghoa dan sekarang mereka umumnya sudah tua. Lasem, kota kecamatan di bagian timur Kabupaten Rembang, terletak kurang lebih 13 kilometer dari ibu kota kabupaten. Nama Lasem selama ini lebih dikenal dibandingkan ibu kota kabupatennya sendiri, Rembang. Sebagian besar bus dari luar daerah selalu transit di Terminal Lasem dan menempatkan Lasem sebagai jalur kendaraan, dan bukan Rembang. Misalnya, bus jalur Semarang-Lasem.Lasem, konon lebih dari 200 tahun yang lalu, datanglah orang Tionghoa yang kemudian menghuni wilayah ini hingga keturunannya sekarang. Peninggalan pendatang Tionghoa itu masih terlihat jelas dari arsitektur bangunan rumah yang ada di daerah tersebut.Di kota ini berderet bangunan tinggi besar yang kokoh. Dari luar tampak seperti bangunan biasa dengan tembok yang tinggi. Namun, ketika masuk ke dalamnya, terlihat sesuatu yang lain. Ukiran naga pada pintu-pintu besar, serta adanya altar tempat abu jenazah, memperlihatkan dengan jelas bahwa bangunan ini kental dengan nuansa Tionghoa yang disebut omah ombo karena besar dan luas
Menurut pere yang masih terlihat energik kalau berbicara ini, moyangnya adalah pelaut yang terdampar di Indonesia. Konon, mereka adalah pedagang candu yang kaya. Kisah masuknya etnis Tionghoa di daerah ini bahkan sempat diabadikan dalam film berjudul Ca Bau Kan karya Remy Silado. Orang ini juga yang kemudian memperkenalkan dan mengembangkan teknik batik tulis di Lasem, yang kemudian terkenal dengan batik lasem.
Apa yang dimaksud batik Tulis pak?
Menurut penuturan  bapak Purnomo, sejak dahulu batik lasem sangat terkenal. Jenis batik tulis, yaitu batik hasil lukisan tangan pada sepotong kain dengan menggunakan canting-alat lukis yang berfungsi sebagai pena-dan malam, jenis lilin yang berfungsi sebagai tinta untuk membatik, ini mempunyai nilai seni yang tinggi. Tak heran jika harga kain batik lasem mahal.Nilai seni batik tulis lasem terletak pada motif dan kehalusannya dan bersifat relatif. Motif kain batik lasem bermacam-macam. Sedikitnya ada lima motif, yaitu tiga negeri, empat negeri, kawung, rawan, dan kendoro-kendiri. Pembuatan batik dilakukan secara kumulatif, artinya masing-masing orang mengerjakan satu tahapan dalam jumlah banyak. Untuk menyelesaikan 100 potong kain batik tulis, dengan 20 tenaga kerja, waktu yang diperlukan sekitar dua bulan. Pembatikan itu melalui berbagai tahapan, mulai dari pembuatan pola (nglengkreng), menutup bagian yang tidak berpola (nembok), dan mewarnai (nerusi).

Tahap nerusi ini bisa mencapai tiga kali proses, bergantung pada berapa warna yang digunakan. Semakin banyak warna yang digunakan, semakin lama pula prosesnya. "Per potong kain rata-rata dijual seharga Rp 150.000 hingga Rp 300.000. Ada juga yang lebih mahal, sampai Rp 1.000.000. Tetapi, hanya kain yang benar-benar istimewa, baik dari kehalusan batikan maupun motifnya," ungkap Purnomo, pemilik perusahaan batik tulis Cap Kuda di Lasem ini.
Bagaimana posisi batik Lasem dulu, sekarang, dan ke depan?
Menurut  bapak Purnomo, karena harganya yang mahal ini pula, batik tulis lasem mulai tergusur oleh batik cap atau batik printing yang harganya jauh lebih murah. Dahulu, perusahaan ini selalu kehabisan persediaan. Sekarang penjualan hanya rata-rata sekitar 20 potong setiap bulan. "Sejak munculnya batik printing di era 1990-an, kondisi batik tulis lasem menjadi lesu," lanjut pria ini di tokonya yang berisi sekitar 300 potong kain batik. Keadaan ini lebih diperparah oleh krisis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Penjualan batik tulis menjadi sangat merosot dan akibatnya banyak perusahaan batik tulis yang terpaksa tutup.Dari sekitar 100 perusahaan batik tulis yang dulu ada di daerah ini, sekarang yang masih bertahan kurang dari 10 perusahaan. Salah satunya adalah milik Purnomo di Gedungmulyo, Lasem. "Boleh dibilang, kejayaan batik lasem sekarang tinggal 25 persen,".
Selain karena harga faktor apa saja yang membuat terpuruknya batik Lasem pak?
Selain karena faktor harga, kemunduran batik tulis lasem juga disebabkan oleh kehilangan generasi yang menekuni profesi ini. Umumnya angkatan muda dari Lasem lebih memilih merantau daripada mempertahankan tradisi membatik.Purnomo, ayah tiga anak, mengakui, hingga sekarang tidak mempunyai penerus tradisi sehingga ia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan usahanya kelak. Akibat lesunya industri batik tulis ini, banyak pekerja yang umumnya adalah warga pribumi beralih ke sektor lain, seperti pertanian dan perikanan. Ada juga yang berusaha membuat industri batik tulis kecil-kecilan, yang kemudian dijual sendiri di pasar. Tentu dengan harga lebih murah.


Bagaimana usaha untuk mempertahankan agar batik Tulis terutama produksi bapak tetap eksis ? dan apa harapan bapak?
Pentinglah upaya mempromosikan batik tulis lasem ke dunia luar. Untuk mengurangi tingkat kemahalan batik tulis, upaya yang ditempuh adalah membuat produk pakaian dengan kombinasi batik tulis lasem dan kain biasa.Upaya ini mulai ditempuh sejak dua bulan lalu. Promosi terutama dilakukan di Jakarta dengan memanfaatkan media elektronik televisi swasta. Langkah ini memang masih awal, tetapi nantinya diharapkan akan memberi hasil yang baik. Ia berharap batik lasem bisa meraih kejayaannya kembali. Bukan hanya dipakai dan digemari banyak orang, tetapi juga bisa menghidupi banyak orang. Batik lasem diharapkan bisa kembali menjadi "lokomotif" perekonomian Rembang.


Sunday 21 August 2011

Asal Usul Kabupaten Rembang


Asal Usul Nama Rembang
Legenda Rakyat Dari Kabupaten Rembang
Pengantar
Jangkar Kapal Dampo Awang di Dampo Awang Beach (Pantai Kartini)
Sebelum Penulis sampaikan cerita ini perlu pembaca pahami bahwa legenda dari Rembang ini memiliki beberapa versi namun penulis berusaha memberikan cerita yang memiliki garis besar yang sama berdasarkan cerita turun-temurun yang penulis ketahui.
Jawa sebagai pusat perdagangan pada abad 13-15 mempunyai beberapa pelabuhan besar diantaranya, Pelabuhan Sunda Kelapa, Pelabuhan Cirebon, Pelabuhan Semarang, Pelabuhan Lasem, Pelabuhan Tuban, serta Pelabuhan Surabaya. Pelabuhan-pelabuhan tersebut sudah banyak dikenal oleh orang asing maka tak mengherankan banyak bersandar kapal-kapal dagang asing yang igin memasarkan hasil dari negaranya atau berlabuh untuk menjalin kerjasama dengan beberapa kerajaan besar di tanah Jawa. Beberapa kapal asing itu antara lain kapal dari Tiongkok, Arab, Persia, Gujarat, dan sebagainya.
            Jawa sebagai pusat penyebaran agama Islam di tanah air terutama pada daerah pesisirnya menjadi pusat adalah Wali Songo (Wali Sembilan) yang berjasa besar dalam menyebarkan agama Islam Secara damai sehingga mudah diterima oleh penduduk Jawa Yang saat itu mayoritas beragama Hindu-Budha atau Aliran Kepercayaan. Akibat kepiawainnya megakulturasikan kebudayaan lokal dengan kebudayaan Islam, Islam sangat cepat berkembang dengan Demak sebagai pusat Kraton Islamnya bahkan Islam yang berkembang saat itu dituding menjadi penyebab utama dari kemunduran Kerajaan Majapahit, bahkan salah satu Raja terkenal Majapahit yaitu Raja Brawijaya V diyakini sudah beragama Islam, ahir abad 14 Kerajaan Besar Majapahit musnah yang ditandai dengan Chandra Sengkala (tahun Jawa kuno) “Sirno Ilang Kertaning Bhumi” atau tahun 1400M.
            Setelah kemunduran Majapahit itulah mencul kerajaan Islam pertama di Jawa yaitu kerajaan Demak yang di dukung oleh para wali. Beberapa peninggalan Majapahitpun diangkut ke Demak salah satunya Pendopo depan Majapahit yang kini di pakai di Masjid Agung Demak. Pusat Islam di Jawa meliputi wilayah Cirebon, Lasem, Tuban, Gresik dan hampir seluruh pesisir utara Jawa.

Al Kisah
Sunan Bonang dan Dampo Awang Beserta Jangkar Kapal Dampo Awang
            Sejak dulu Tiongkok atau Cina dikenal sebagai pedagang dan pelaut yang ulung para utusan kerajaan maupun para pedagangnya menyebar ke seluruh dunia. Termasuk ke Nusantara terutama untuk mencari rempah-rempah sseta memasarkan hasil kerajinannya diantaranya Emas, Kain Sutera, Keramik, Lukisan dan sebagainya.
            Dahulu kala datanglah seorang pelaut dan pedagan yang sangat tersohor yang bernama Laksamana Cheng Ho atau lebih dikenal dengan nama Zeng He namun berbeda untuk masyarakat Rembang yang menyebut dia dengan nama Dampo Awang pada tahun 1405M beserta kapal-kapal pengawalnya yang berisi prajurit kerajaan. Awalnya ia hanya seorang kasim biasa namun karena kepandaiannya ia diangkat oleh raja Zhu Di menjadi utusan kerajaan, pelaut sekaligus, seorang pedagang yang ulung. Dalam sebuah memulai kegiatan perniagaan di Rembang utamanya di sekitar Pelabuhan Lasem yang sekarang terletak di Desa Ndasun, di Lasem sendiri terdapat sungai yang cukup besar yaitu sungai Babagan yang dulu digunakan senagai jalur transportasi maka tak mengherankan di sekitar sungai Babagan berdiri perkampungan Pecinan dan Klenteng-klenteng. Cheng Ho sebagai orang asing yang melakukan kegiatan perniagaan dan tinggal sementara di Lasem boleh dibilang ia hampir menguasai perdagangan di Pesisir Rembang si kisahkan ia mempunyai kediaman sementara yang cukup besar yang di jaga ketat oleh pasukan gagah yang ia bawa dari negeri Tiongkok, awalnya masyarakat menerima Dampo Awang dengan baik karena keramahannya tapi setelah ia merasa kaya dan sukses dalam berdagang ia mennjadi sombong dan Congkak bahkan terkesan semena-mena kepada rakyat setempat.
            Berita inipun sampai ke Sunan Bonang selaku sesepuh di Lasem dan sekitarnya, Lasem yang saat itu sudah dikenal sebagai kota yang religius dengan Sunan Bonang sebagai orang yang dituakan. Karena banyak mendengarkan keluhan dari banyak warga dan santrinya Sunan Bonang pun mengunnjungi kediaman Dampo Awang yang tidak jauh dari Pelabuhan Lasem bermaksud menayakan tentang hal ini.
            Beliau datang dengan dua orang santrinya, beliau seperti biasa menggunakan sorban putih dan berpenampilan sederhana namun terlihat sangat berwibawa. Setelah menempuh perjalana dari Pondoknya di Desa Bonang ahirnya Sunan Bonang Sampailah di kediaman Dampo Awang yang sangat megah di kelilingi tembok yang tebal dan tinggi, di depan gerbang rumahnya berdiri dua penjaga yang sangat gagah tinggi besar dan terlihat membawa tameng dan tombak yang runcing.
Penjaga: “Hai siapa kalian, berani-beraninya datang ke kediaman Lakmana Agung dari  Tiongkok!”
Santri: “Kami dari Bonang  saya dan Sunan (Bonang) ingin bertemu sebentar dengan Tuanmu Dampo Awang”
Penjaga: “Hahahaha... seenaknya kalian ingin bertemu dengan Tuanku, kalian hanya rakyat jelata kalian tidak kami ijinkan!”
Santri: “hei jaga bicaramu penjaga...kalian tidak tau kalau beliau ini adalah Kyai dan Ulama’ Besar di Lasem ini..
Sunan Bonang: “sudah..sudah cukup tidak usah berseteru lagi..penjaga kalau kami tidak diijinkan masuk baiklah sampaikan sekarang juga pada Tuanmu, Sunan Bonang ingin bertemu”
Penjaga: “Baiklah..”
Kemudian salah satu penjaga menemui Dampo Awang yang nampak sibuk menghitung dan mendata beberapa hasil perniagaannya
Penjaga: “Ampun Tuanku, Ada 3 Orang ingin bertemu Tuan...salah satu nama mereka adalah Sunan Bonang”
Dampo Awang: “Sunan Bonang? (Dampo Awang terkejut) baiklah suruh mereka masuk”
Bergegas sang penjaga kembali ke gerbang rumah Dampo Awang dan mempersilahkan mereka masuk.
Dampo Awang: “Selamat datang saudaraku, lama tidak bercengkarama denganmu..silakan duduk..silahkan..dan nikmati hidangan yang ada di meja...”
Sunan Bonang: “Terimakasih Dampo Awang...bagaimana kegiatan perniagaanmu?”
Dampo Awang: “hahaha...angin barat tahun ini agaknya sedikit menghambat kegiatanku berlayar dan berdagang”
Sunan Bonag; “Tak apalah Dampo Awang kiranya Laksamana Sebesar anda sudah terbiasa dengan kondisi alam seperti ini”
Dampo Awang: “hahaha...emm sebenarnya ada apa gerangan Sunan dan santri sunan bersedia berkunjung ke kediamanku, sepertinya ada hal penting?”
Sunan Bonang: “ Saudaraku...sebelumnya saya minta maaf atas kedatanganku ini..bukan bermaksud apa-apa Cuma saya mendapat banyak keluhan dari warga Lasem tentang anda,ya tentang sikap anda kepada pedagang kecil dan penduduk sekitar”
Dampo Awang: “sikapku yang mana Sunan?”
Sunan Bonang: “Mohon maaf sekali lagi, bukan maksud saya memfitnah anda..mereka bercerita tentang sikap sombong anda serta kesewang-wenangan anda kepada pedagang kecil di sekitar Pelabuhan Lasem”

Mendengar ucapan Sunan Bonang itu Dampo Awang mulai naik pitam...ia marah dan tersinggung dengan ucapan Sunan Bonang dan Berkata
Dampo Awang: “ Sunan Bonang...aku teringgung dengan ucapanmu itu..pengawal usir mereka dari sini...”
Santri: “Dampo Awang kamu telah bersikap tidak sopan dengan sesepuh Lasem..keterlaluan kamu...ingatlah kamu hanya seorang pendatang kami bisa saja mengusirmu dari Lasem!!”
Mendengar ucapan itu Dampo Awang semakin marah besar kemudian ia berkata
Dampo Awang: “ Baiklah kalau begitu aku juga tidak pernah takut dengan kalian...hei Sunan Bonang..besok pagi datanglah bersama santri-santrimu hadapi aku dan pasukanku siapa yang paling hebat disini dan siapa yang berhak di usir dari Tanah Lasem ini!!...”
Sunan Bonang: “Aku tidak pernah menginginkan semua ini diselasaikan dengan kekerasan..tapi kalau itu maumu baiklah...”
Kemudian Sunan Bonang pulang, sore harinya ia memberitahukan kepada santri-santrinya tentang ucapan Dampa Awang, semua santri bersedia ikut berperang mengusir kesombongan Dampo Awang dan para pasukannya. (Pondok pesantren Sunan  Bonang di yakini berada di sekitar Pasujudan Sunan Bonang yang sampai sekarang banyak dikunjungi peziarah).

Di pagi yang buta tampak kapal-kapal besar dampo Awang sudah terlihat berlabuh di Pantai Bonang dekat Pondok Sunan Bonang. Ia bersama pasukan yang bersenjatakan tameng tombak dan pedang. Di pinggir pantai Sunan Bonang yang berdiri paling depan beserta santrinyapun sudah siap mengahdapi pasukan Dampo Awang. Sunan Bonang dan santrinya mengenakan pakaian putih dan mengenakan sorban putih sambil memegang tasbih seraya berdzikir kepada Tuhan.
            Dampo Awang langsung menabuh genderang perang, dan perang besarpun dimulai. Pasukan Dampo Awang dari atas kapal menembakkan peluru-peluru meriam membuat santri Sunan Bonang banyak yang meninggal. Santri-santri ahirnya berhasil naik ke atas kapal dan terjadi peperangan yang memakan banyak korban di kedua belah pihak. Di sisi lain Dampo Awang dan Sunan Bonang berhadapan saling mengandalkan ilmu kanoragannya. Pepearangan di udara antara mereka terlihat imbang karena sama-sama sakti mandra guna, Dampo Awang kembali kembali turun ke kapal besarnya sedangkan Sunan Bonang justru terbang ke atas bukit Bonang, dari atas bukit ia mengeluarkan aji-aji kanoragannya tepat mengenai kapal Dampo Awang dan hancurlah kapal yang sangat besar itu beserta isinya berhamburan terpental jauh skitar 15 km hingga ke Rembang, layarnya membatu kini menjadi Bukit Layar di desa Bonang Kecamatan Lasem, Jangkarnya yang besar terpental sampai di Pantai Kartini Rembang, tiang kapalnya menancap dekat pasujudan Sunan Bonang di desa Bonang, lambung kapalnya tengkurap yang kini menjadi Gunung Bugel (lereng Gunung Lasem) antara Lasem dan kecamatan Pancur.
            Karena dalam pertarungan itu tidak ada yang kalah dan menang ahirnya Sunan Bonang menghenntikan duel udara itu yang hingga sampai di  pesisir desa Pandean Rembang itu.
Sunan Bonang: “Dampo Awang ilmu kita sepertinya imbang, bagaimana kalau kita bertarung dengan cara lain..”
Dampo Awang: “hahahaha..Sunan Bonang mau melawan aku dengan cara apa lagi kamu?!”
Sunan Bonag: “Lihatlah Jangkar kapalmu itu, tebaklah apakah jangkar itu akan Kerem (tenggelam) atau Kemambang (terapung)?”
Dampo Awang: “hei kalau Cuma menebak seperti itu anak kecil juga bisa..jelas jangkar besi itu akan Kerem (tenggelam)”
Sunan Bonang: “kamu salah Dampo Awang jangkar itu akan Kemambang (terapung)”
Karena mereka sama-sama sakti ketika mereka mengucap Kerem jangkar itu akan tenggelam dan Kemambang jangkar itu akan terapung
Kedua Kata KEREM dan KEMAMBANG saling terucap dari mereka dan jangkarpun menjadi tenggelam dan terapung (Kerem dan Kemambang).
Ahirnya Jangkar besi besar itu Kemambang dengan demikian Sunan Bonang memenangkan pertarungan itu, maka Dampo Awang beserta pasukannya bersedia pergi dari Lasem dan pindah ke Semarang. Dalam Hati Sunan Bonang Berkata dalam Bahasa Jawa “Wewengkon kang jembar pinggir segoro nangin isih kebak alas iki tak wenehi aran REMBANG supoyo ing reja-rejaning jaman wong biso reti lan iling ono prastawa kang gedhe ing jamanku iki”. (wilayah yang luas pinggir laut namun masih berhutan lebat ini saya beri nama REMBANG agar saat peradaban mulai ramai orang bisa tau dan ingat pernah ada peristiwa yang besar di jamanku ini).
--------------------------------------------Allahu’alam-------------------------------------------------

Wednesday 27 July 2011

Sejarah Perkereta Apian di Rembang

Stasiun Rembang




Menyusuri Jejak Sejarah Kereta Api di Rembang
(Hidupmu Dulu dan Matimu Kini)
Oleh: Setya Agung Priyatmaja*)

1.    Latar belakang
Bekas Sinyal Kereta dekat st.Rembang
Sejak kecil saya selalu penasaran ketika saya di ajak bapak saya menuju kota Rembang lewat Pantura Lasem hamparan tambak garam ditepi jalur pantura Lasem-Rembang sebelah kiri tepat melintang sejajar dengan kokohnya jalur kereta api masih lengkap dengan tiang-tiang telepon dan kabel telegramnya yang terbuat dari cor dan besi rel bahkan masih ada papan yang bertuliskan “Semboyan” dan di dekat perlintasan kereta dengan jalan raya ada tulisan “ Awas Kereta api, Dua Sepur” dengan berbentuk tulisan menyilang yang di tulis di atas bantalan besi dan di tancapkan ditanah dengan menggunakan rel yang sudah tidak terpakai,  rasa penasaran itu masih ada hingga aku menginjak sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, bapak saya bercerita bahwa memang dulu di Rembang memang dilintasi kereta api tapi kereta yang masih kuno yang bantalan rel-nya masih berupa kayu jati tua dan katu besi, ungkap beliau. Dan alhamdulillah baru duduk di bangku kuliah ini keinginan saya terwujud untuk membuat karya sederhana tentang sejarah kereta api di Rembang.
Tak cukup sampai disitu aku bertanya-tanya kepada siapa saja yang tau tentang sejarah perkereta apian di Rembang dan rata-rata sama mereka hanya menjawab bahwa memang sekitar sebelum tahun 1970-an kereta di Rembang mengalami masa kejayaannya berbanding jauh dengan masa sekarang yang hanya tersisa stasiunnya saja itupun kondisinya sudah tak terawat.
Bahkan ketika saya masih SMP dulu pernah punya angan-angan bila jalur kereta Lasem-Rembang walau sudah tidak berfungsi setidaknya bisa digunakan sebagai jalur kereta wisata karena pemandangannya bagus masih asri Gunung Lasem pun juga menjadi daya tarik tersendiri jika itu benar-benar di wujudkan. Dan memang pikiran saya saat itu yang sudah mulai tertarik untuk mengurusi hal-hal yang berbau sejarah dan menurut saya itu aset yang tak ternilai harganya, karna pasti pada saat pembangunanya yang menurut sejarah jalur kereta Semarang-Rembang di bangun tahun1884-1900 sedangkan menuju ke timur yaitu Lasem-Jatirogo jalur keretanya di bangun tahun 1914-1919 dan Juana (Joana)-Lasem mulai di buka tanggal 1 Mei 1900 banyak menelan korban akibat kerja paksa Belanda saat itu sungguh pengorbanan yang harus di bayar mahal, jalur kereta Rembang-Semarang  merupakan pioner dari kejayaan perkereta apian di Semarang itu sendiri pembangunan rel pertama diprakarsai oleh Gubernur Jenderal tanah jajahan pada tanggal 7 Juni 1864 yang berlokasi di desa Kemijen (sekarang Stasiun Gudang Semarang). Pelaksanaan proyek pembangunan dipimpin Baron Sloet Van den Beele (1886-1866). Berselang tiga tahun kemudian jalur Semarang-Temanggung sepanjang 25 km dioperasikan sebagai angkutan umum. Dan menurut cerita mbah-mbah saya dulu keretanya tahun 1970-an ahir masih menggunakan tenaga Uap jadi petugas keretanya akan selalu sibuk membakar kayu di perut lokomotif bagian depan makanya tak mengherankan kalau sekarang di Stasiun Pamotan masih tersisa bak penampung air yang sangat besar dan tinggi yang orang dulu bilang “sepure ngombe ndisik” (Keretanya minum dulu) untuk kemudian air itu di jadikan uap sebagai tenaga penggeraknya dan baru setelah itu kereta api di Indonesia pada umumnya sudah menggunakan tenaga diesel di susul tenaga listrik era tahun 1980-an hingga sekarang.
Nah dari alasan alasan di atas maka saya akan mencoba menulis sejarah perkereta apian di Kabupaten Rembang dan sekitarnya, semoga bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan menjadikan pertimbangan bagi PT. KAI untuk menghidupkan kembali jalur kereta api yang mati di sepanjang jalur pantura Jatirogo-Rembang-Pati-Kudus-Demak dan Semarang. Semoga.
2.  Pembahasan
a.       Sekilas Tentang Sejarah Perkereta Apian Di Jawa Sekaligus di Indonesia
Perkeretaapian di Indonesia di mulai tanggal 17 Juni 1864 dengan pemasangan rel kereta api pertama di Semarang (Kemijen) sampai Tanggungharjo. Proyek tersebut dilaksanakan oleh NISM (Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij) dan peresmiannya dilakukan oleh Gubernur Jenderal Sloet Van Beele. Pemasangan lintas pertama ini nampaknya semata-mata bermotif komersial, karena hasil bumi (tembakau, nila, dan gula) dari daerah Surakarta dan Yogyakarta (Voreten Landen) yang merupakan bahan ekspor, memerlukan angkutan cepat untuk sampai di pelabuhan Semarang.
Pada tahun 1868 selesai pembangunannya dan mulai beroperasi untuk umum kereta jurusan Semarang – Tanggung (Kabupaten Grobogan) sepanjang 26 km atas permintaan raja Willem I yang awalnya hanya merupakan jalur percobaan saja namun hasilnya menjanjikan. Pada tahun 1870 selesai dipasang dan dibuka untuk umum lintas Semarang - Gundih - Surakarta. Tahun 1871 - 1873 dilakukan pemasangan rel Surakarta - Yogyakarta - Lempuyangan. Tanggal 10 April 1869 juga dipasang oleh NISM lintas Jakarta - Bogor selesai tahun 1873. Lintas ini kemudian diambil oleh pemerintah yang mendirikan perusahaan kereta api pemerintah yang dinamakan SS (Staaatsspoor Wegen). Kemudian dilanjutkan pemasangan lintas Bogor - Sukabumi - Bandung - Kroya - Yogyakarta - Surabaya. Pada lintas Yogyakarta - Surakarta terdapat rel triganda (jalur dengan tiga batang rel) karena NISM menggunakan rel lebar (1,435 m) sedang SS sendiri menggunakan rel normal yakni lebar 1,067 m. Tahun 1903 mulai dipasang oleh NISM lintas Kedungjati - Ambarawa - Magelang - Yogyakarta. Tahun 1907 lintas Secang - Temanggung - Parakan. Tahun 1899 - 1903 dipasang oleh NISM Semarang - Cepu - Surabaya. Kemudian tertarik oleh keuntungan yang diperoleh NISM menyusul berdirinya perusahaan-perusahaan kereta api swasta lainnya yang berjumlah sepuluh perusahaan yaitu 5 diantaranya berpusat di kota Semarang antara lain yakni Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS), Serajoe Dal Stoomstram Maatschappij (SDS), Semarang Joanaa Stoomstram Maatschappij ( SJS), Old Java Stoomstram Maatschappij (OJS) Gedung Joana Stroorntraam Maatchappij sekarang menjadi kantor Daop 4 PT KA di Jalan MH Thamrin Semarang. Perusahaan kereta api besar lainnya, yakni Nederlandsch-Indische Spoorwegmaatschappij (NIS) berkantor di Lawang Sewu. SCS mengelola jalur Semarang Cirebon, SDS jalurnya Maos, Purwokerto, Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo. Sedangkan SJS (Semarang Joana Stoomtrammascapaj) untuk jalur Semarang, Demak, Kudus, Pati, Rembang, dan Lasem.

b.      Perjalanan Kereta Api di Rembang
Stasiun Pamotan Kini






Di kabupaten Rembang terdapat 3 stasiun yang boleh dibilang besar untuk ukuran stasiun wilayah kabupaten di Indonesia yaitu Stasiun Rembang, Stasiun Lasem serta stasiun Pamotan , walaupun kondisinya sekarang sudah sangat memprihatinkan namun sisa-sisa kejayaan masih bisa terlihat jejak jejak sisa ornamen khas kolonial masih sangat kental terlihat.
Bagian loket stasiun Lasem
Tuas Pemindah Rel di Stasiun Rembang
Pembangunan jalur Semarang-Rembang ini adalah pembangunan jalur kereta api tahap ke 2 yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda proyek yang dimulai tahun 1888 itu dan selesai sekitar tahun 1900-an menggunakan tenaga penduduk para penduduk pula harus merelakan tanah mereka untuk di buat jalur perlintasan kereta api yang pada pertengahan abad XIX pemerintah Hindia Belanda mulai merasa membutuhkan pembangunan jalur kereta api sejak berkembnagnya perkebunan terutama, terutama dipedalaman Jawa dan daerah tambang di Sumatera. Pengankutan hasil perkebunan sudah tidak dapat dipenuhi lagi oleh transportasi lewat jalan-jalan pos (Jalur Daendels), gudang-gudang penuh sesak hingga tidak dapat menampung lagi barang yang datang. Sedangkan kapal-kapal dipelabuhan terpaksa menunggu lama, sering kali berbulan-bulan. Pengankutan terutama kopi, tebu, temakau, indigo, dan gula menuju pelabuhan sangat lambat dan kurang efisien lagipula hasil perkebunan dapat mengalami kerusakan. Dibutuhkan sistem pengangkutan yang tidak boros waktu dan hemat biaya. Maka, pembangunan jalur kereta api bertolak dari kota-kota pelabuhan yaitu Semarang, Batavia, dan Surabaya menuju daerah-daerah sumber penghasil produk perkebunan termasuk di wilayah kabupaten Rembang dan sekitarnya yang pada jaman tanam paksa merupakan daerah penghasil tebu yang cukup besar di Jawa.
Bekas Rel di Jalan A. Yani Rembang yang masih tersisa
Kalau kita identifikasi lebih mendalam mengapa saat itu sangat tertarik mengembangkan proyek perkereta apian di sepanjang pesisir utara Jawa karena ia menganggap daerah utara Jawa adalah pusat transportasi darat dan laut serta Belanda sengaja trayek Semarang-Rembang-Surabaya disandingkan pada kanan dan kiri jalur Daendels agar masyarakat tahu betapa matangnya proyek yang telah Belanda kerjakan demi kelancaran transportasi darat yang sangat berkembang pesat pada abad XIX utamanya perkereta apian di eropa kemudian diadopsikan di Indonesia khususnya di Pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan. Kemantapan jalur kereta api ini sangat didukung dengan majunya tehnologi uap yang ditemukan James Watt. Dengan demikian jelas lokomotif uap tampil sebagai tonggak sejarah perkereta apian di belahan dunia manapun. Bahkan sampai ahir Perang Dunia II terdapat 982 lokomotif dari 69 jenis, sedangkan beberapa kereta api uang yang pernah beroprasi di Indonesia yaitu Lokomotif Uap Tahun 1898: Seri B Bristol, Lokomotif Uap Tahun 1905: Seri C Birmingham, Lokomotif Uap Tahun 1920: Seri BB Manchester, Lokomotif Uap Tahun 1930: Seri CC Manchester, Lokomotif Uap Tahun 1954: Seri D54 Krupp Liepzig. Di Indonesia tidak ada lokomotif super besar sepert Big Boy, Challenger, atau Northern yang terdapat di Eropa dan Amerika . Namun ada lokomotif bergigi di Ambarawa dan Sumatera Barat.
Kereta Api rute Semarang-Lasem melintas di Kaliori Mei 1976
Keadaan geografis kabupaten Rembang dan sekitarnya yang cenderung rendah membuat kereta api berkembang sebagai moda transportasi darat paling favorit ketika itu. Para petani dan pedagang memanfaatkan kereta api untuk mengangkut hasil bumi kemudian di jual ke kota. Maklum pada saat itu tahun 1800-1900-an jalan-jalan di kecamatan apalagi di desa-desa sangat tidak layak untuk dilewati karena hanya berupa jalan tanah atau batu yang pada musim penghujan menjadi tidak bisa dilalui, toh tidak mungkin juga mereka mengangkut hasil buminya ke kota yang jauh dengan alat transportasi yang mereka miliki yang paling mewah ketika itu hanya dokar, cikar (Pedati yang ditarik sapi), dan sepeda onthel.
Peta Jalur KA yang mati di Jateng (warna merah)
Kereta uap yang beroprasi di kabupaten Rembang- Semarang hanyalah lokomotif kecil yaitu jenis D 301/D 300 serta jenis B, berbeda dengan daerah lain yang bisa dilintasi oleh kereta lokomitif besar jenis BB 200, CC 201, dan 203, kalau kita bandingkan dengan seksama rel yang membentang Semarang-Rembang-Lasem ukurannya memang lebih kecil di banding rel jurusan lainnya pada saat itu, maka tak mengherankan hanya loko kecil padahal SJS selaku pengelola sudah melihat peluang besar bagi bisnis transportasi kereta ketika itu, kemungkinan mereka sengaja memperkecil ukuran spoor (bentang rel) yang hanya 1067 mm selain karena menghindari kecelakaan kereta besar yang tentunya memiliki beban yang sangat berat dan berkecapatan cukup tinggi yang rawan terkena hembusan angin laut yang kencang sehingga bisa terjadi hal buruk. SJS sepertinya pula menghindari kerjasama yang terlalu dekat dengan NISM (Netherlandsch Indishche Spoorweg Mastchappij) yang memiliki bentang spoor rata-rata 1435 mm, SJS takut kalau terjadi kerjasama, NISM akan terlalu mengatur SJS sehingga keuntungan yang diterima SJS menjadi kecil. Walaupun demikian SJS mengakui jaringan kereta yang ia miliki masih kalah besar dan modern yang dikelola NISM selaku usaha kereta api milik pemerintah Hindia Belanda.
Kereta yang uap yang melintas di jalur Rembang-Lasem terdiri dari lokomotif seri B kecil berwarna hitam pekat dan merah pada bagian bawah depan pada bagian belakang cerobong asap terdapat tonjolan yang mirip dengan cerobong namun berwarna emas. Kayu bakar senagai pembuat api di tungku pembakaran uap pun ditempatkan dibelakang ruang kendali masinis kayu-kayu itu ditumpuk rapi agar mudah diambil dan dimasukkan kedalam tabung bagian depan sebagai penghasil uap. Di belakang lokmotif kereta ini hanya menarik 3 gerbong saja karena memang ketika itu masih jarang orang bepergian jauh dan tiga gerbong ini jika penuh sesak sudah di anggap ramai penumpang, 2 gerbong di depan adalah gerbong penumpang sedangkan satu gerbong di belakang adalah gerbong barang dan hewan, jenis lokomotif ini sekarang bisa kita saksikan di kompleks gedung Lawang Sewu Semarang.
Jembatan KA di Perbatasan Rembang-Pati (kec. Kaliori)
Pada jaman kolonial tarif kereta dibedakan berdasarkan pangkat/golongan masyarakat ketika itu yaitu:  Pada kereta api penumpang, ada empat kelas, dari kelas satu sampai dengan kelas empat. Kelas jenis kedua terakhir, lazimnya diperuntukkan bagi kaum pribumi dengan papan bertuliskan Inlanders. Perbedaan kelas juga didasarkan atas perbedaan tarif, seperti berikut:
kelas 1 = 5 ½ sen per km dan diperuntukkan terutama bagi warga Eropa/kulit putih
kelas 2 = 3 sen per km, diperuntukkan bagi kelas bangsawan/orang kaya
kelas 3 = 1 sen per km, diperuntukkan bagi kelas pribumi.

c.       Tahap Pembangunan Jalur Kereta Api Oleh Belanda di Seluruh Indonesia
Sejak tahun 1864 hingga 1925 telah dibangun jalur rel sebagi berikut:

Jalur Pertama 1864: Kemijen (Semarang) - Tanggungharjo 26 km

Posisi hingga Tahun 1888: Batavia - Bogor - Sukabumi – Bandung, Batavia - Tanjung Priok dan Batavia – Bekasi, Cilacap - Kutoatjo - Yogya - Solo - Madiun - Sidoarjo – Surabya, Kertosono - Kediri – Blitar, Sidoarjo - Malang dan Bangil - Pasuruan – Probolinggo, Solo - Purwodadi - Semarang dan Semarang – Rembang, Tegal - Balapulang

Posisi hingga Tahun 1899: Batavia – Rangkasbitung, Bekasi – Krawang, Cicalengka - Cibatu (Garut) - Tasikmalaya - Maos – Banjarnegara, Cirebon - Semarang dan Semarang – Blora, Yogya – Magelang, Blitar - Malang dan Krian – Surabaya, Sebagian jalur Madura

Posisi hingga Tahun 1913: Rangkasbitung - Labuan dan Rangkasbitung – Anyer, Krawang - Cirebon dan Cikampek – Bandung, Pasuruan – Banyuwangi, Seluruh jaringan Madura, Blora - Bojonegoro - Surabaya

Posisi hingga Tahun 1925: Sisa jalur Pulau Jawa, Elektrifikasi Jatinegara - Tanjung Priok, Elektrifikasi Batavia – Bogor, Sumatra Selatan: Panjang - Palembang dan, Sumatera Barat: sekitar Sawahlunto dan Padang, Sumatera Utara: Tanjung Balai - Medan - Pematangsiantar; dan Medan - Belawan – Pangkalansusu, Sulawesi: Makasar - Takalar dan rencana Makasar - Maros – Sinkang, Sulawesi Utara: rencana Manado – Amurang, Kalimantan: rencana Banjarmasin - Amuntai; dan rencana Pontianak – Sambas. Untuk Kalimantan dan Sulawesi tidak terlaksana karena baru akan dimulai dibangun tahun 1941 dan Perang Dunia II meletus.

d.      Peresmian dan Pembukaan Jalur Kereta yang Selesai Dibangun oleh SJS

Peta Bentang Spoor (by Rob Dickinson)

Setelah selesai membangun jaringan kereta api SJS melakukan pembukaan perdana jalur mereka termasuk jalur Rembang-Lasem dan kota-kota disekitarnya yaitu: SJS (Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij): Semarang-Genuk-demak-Kudus-Pati-Joana (1883-1884), Demak Purwodadi-Blora (1888-1894), Mayong-Pancangan (dibuka 5 Mei 1895), Wirosari-Kradenan (dibuka 1 Nopember 1898). Lasem-Jatirogo (1914-1919), Rembang-Cepu lewat Blora (1902-1903), Joana-Lasem (dibuka 1 Mei 1900), M ayong-Welahan (dibuka 10 Nopember 1900). 

 

3.      Penutup

Saran Untuk Pemerintah dan PT KAI:

Megahnya bekas Stasiun Rembang

Begitu bersejarahnya jalur kereta yang Semarang-Lasem ada baiknya pengamanan aset-aset bersejarah itu diperketat lagi saya melihat tanah-tanah yang dulunya jalur kereta kini berubah fungsi jadi rumah penduduk. Penyelamatan bangunan stasiun juga perlu bisa dengan cara menetapkannya sebagai bagunan cagar budaya dan merehabnya agar lebih bagus tanpa merubah bentuk asli bangunan tersebut. Bukan karena materinya yang berharga namun yang lebih berharga lagi adalah nilai historisnya, agar anak cucu kita kelak masih bisa melihatnya dan bisa membanyangkan betapa susah payahnya pendahulu kita membangunnya serta memanfaatkanya. Keputusan pemerintah lebih dari  30 tahun yang lalu untuk mematikan beberapa jalur kereta api di Indonesia khususnya di Jawa adalah keputusan FATAL. Tentang wacanan penghidupan lagi jalur tersebut tentu ini langkah bijak pemerintah untuk mengatasi problematika transportasi di Pantura Jawa yang apabila kita hitung biaya perawatan pantura tiap tahunnya sangat besar hampir sama dengan pembangunan jalur kereta api yang justru tidak banyak perawatan, sekali lagi mohon pamerintah untuk mengkaji ulang wacana ini agar benar-benar direalisasikan demi lancarnya transportasi dan roda perekonomian bangsa. Semoga dan Terimakasih.

------------------------------------------**------------------------------------------------- 

Aku dedikasikan karyaku ini untuk Kabupaten Rembang dan Ilmu Pengetahuan Semoga bermanfaat bagi yang ingin mengetahui sejarah kereta api di Rembang

 

*) Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sejarah

Universitas Negeri Semarang



Monday 11 July 2011

Sajak Sunyi 3 Negeri (Puisi Untuk Kota Lasem)


*Kota Tiga Negeri Lasem*
Berjalan di antara lorong sempit dengan tembok kusam menjulang,
Sayup suara ayat Tuhan terdengar memantul di antara tembok-tembok tebalmu,
Aroma masa lalu sangat pekat tercium, bagai kembali ke masa perdagan Cina di tanah Jawa lima adad silam,
Atap melengkung kusamnya tulisan paku yang menghiasi setiap rumah tua itu adalah bukti masa kejayaanmu,
Engkau hanya terdiam disaat modernisasi mulai menggerusmu bahkan hampir memusnahkanmu,
Megah tapi sunyi, dan hampir engkau tak mau bercerita tentang kisahmu, kisah pedih, pilu, bangga, senang, namun mengapa engkau tetap terdiam?,
Sedang engkau tetap setia berdiri tanpa peduli zaman telah menelanmu dalam jejak sejarah kolosal klasik,
Oh... kota Lasem, engkau bagai “kota 3 Negeri” yang sibuk saat siang hari & sunyi saat malam datang,
Lasem, engkau sangat beruntung, Bangunan-bangunan tuamu sangat setia menemanimu sampai ia sedikit demi sedikit tidak mampu bersaing serta terhimpit diantara kemewahan pendudukmu,
Dan hanya masa kejayaanmu kan ku kenang wahai kota Lasemku....

                                               

(SAJAK SUNYI 3 NEGERI, karya: S.A Atmadja)

*Lasem selain disebut sebagai kota Beijing kuno (Old Beijing Town)/Little Tiongkok, ia juga disebut Kota 3 Negeri karena memiliki keberagaman budaya yaitu Indonesia, Islam dan Cina dan mereka berhubungan dengan harmonis.

Wednesday 11 May 2011

Nugroho Notosusanto,Putra Rembang Yang Membanggakan


Nugroho Notosusanto


Nugroho Notosusanto

Masa jabatan
19 Maret 19833 Juni 1985
Presiden Soeharto
Pendahulu Daoed Joesoef
Pengganti Fuad Hassan

Lahir 15 Juli 1930
Bendera Belanda Rembang, Jawa Tengah, Hindia Belanda
Meninggal
3 Juni 1985 (umur 54)
Bendera Indonesia Jakarta, Indonesia
Agama Islam
Nugroho Notosusanto (lahir di Rembang, Jawa Tengah, 15 Juli 1930 – meninggal di Jakarta, 3 Juni 1985 pada umur 54 tahun) adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan IV (1983-1985). Sebelumnya juga ia pernah menjadi Rektor Universitas Indonesia (1982-1983). Ia berkarier di bidang militer dan pendidikan. Selain itu ia juga terkenal sebagai sastrawan, yang oleh H.B. Yassin digolongkan pada Sastrawan Angkatan 66.

 Masa kecil

Ayah Nogroho bernama R.P. Notosusanto yang mempunyai kedudukan terhormat, yaitu seorang ahli hukum Islam, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, dan seorang pendiri UGM. Kakak Nugroho pensiunan Patih Rembang dan kakak tertua ayah Nugroho adalah pensiunan Bupati Rembang. Pangkat patih, apalagi bupati sangat sulit dicapai rakyat pribumi pada waktu itu di daerah pesisiran Rembang. Nugroho adalah anak pertama dari tiga bersaudara.Keluarga
Ketika Nugroho sedang giat-giatnya dalam gerakan mahasiswa, ia berkenalan dengan Irma Sawitri Ramelan (Lilik). Perkenalan itu kemudian diteruskan ke jenjang perkawinan pada tangal 12 Desember 1960, di Hotel Indonesia. Istri Nugroho adalah keponakan istri mantan Presiden RI Prof. Dr. B.J. Habibie. Dari perkawinan itu mereka dikaruniai tiga orang anak, yang pertama bernama Indrya Smita sudah tamat FIS UI, yang kedua Inggita Sukma, dan yang ketiga Norottama.

 Pendidikan

Pendidikan yang pernah diperoleh Nugroho adalah Europeese Lagere School (ELS) tamat 1944, kemudian menyelesaikan SMP di Pati Tahun 1951 tamat SMA di Yogyakarta. Setamat SMA ia masuk Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah, Universitas Indonesia, dan tamat tahun 1960. Tahun 1962 ia memperdalam pengetahuan di bidang Sejarah dan Filsafat di University of London. Ketika tamat SMA, sebagai seorang prajurit muda ia dihadapkan pada dua pilihan, yaitu meneruskan karier militer dengan mengikuti pendidikan perwira ataukah menuruti apa yang diamanatkan ayahnya untuk menempuh karier akademis. Ayahnya dengan tekun dan sabar mengamati jejaknya. Ternyata, setelah 28 tahun, keinginan ayahnya terkabul meskipun sang ayah tidak sempat menyaksikan putranya dikukuhkan sebagai guru besar FSUI karena ayahnya telah wafat pada tanggal 30 April 1979. Dengan usaha yang sebaik-baiknya, amanat ayahnya kini telah diwujudkan meskipun kecenderungan pada karier militernya tidak pula tersisih. Pada tahun 1977 ia memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra bidang sejarah dengan tesis "The Peta Army During the Japanese Occupation in Indonesia", yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tentara Peta pada Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia. diterbitkan oleh penerbit Gramedia pada tahun 1979. Nugroho mendapat pendidikan di kota-kota besar seperti Malang, Jakarta, dan Yogyakarta.

 Pengalaman kemiliteran

Pengalaman Nugroho Notosusanto di bidang kemiliteran, pernah menjadi angota Tentara Pelajar (TP) Brigade 17 dan TKR Yogyakarta. Sejak Nugroho menjadi anggota redaksi harian Kami, ia semakin menjauh dari dunia sastra, akhirnya ia tinggalkan sama sekali. Ia kemudian beralih ke dunia sejarah dan tulisannya mengenai sejarah semakin banyak. Pada tahun 1967, Nugroho mendapatkan pangkat tituler berdasarkan SK Panglima AD No. Kep. 1994/12/67 berhubungan dengan tugas dan jabatannya pada AD. Pangkat terakhirnya adalah Brigadir Jenderal, pangkat tertinggi yang mungkin diraih dalam karier sipil di kemiliteran saat itu. Sejak tahun 1964, ia menjabat Kepala Pusat Sejarah ABRI. Ia juga menjadi anggota Badan Pertimbangan Perintis Kemerdekaan serta aktif dalam herbagai pertemuan ilmiah di dalam dan di luar negeri. Pada tahun 1981 namanya kembali disebut-sebut berkenaan dengan bukunya Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara. Buku ini menimbulkan polemik di berbagai media massa. Bahkan banyak pula yang mengecam buku itu sebagai pamflet politik.

Karier menulis

Nugroho dikenal sebagai penulis produktif. Di samping sebagai sastrawan dan pengarang, ia juga aktif menulis buku-buku ilmiah dan makalah dalam berbagai bidang ilmu, dan terjemahannya yang diterbitkan berjumlah dua puluh satu judul. Buku-buku itu sebagian besar merupakan lintasan sejarah dan kisah perjuangan militer. Wawasan yang mendalam tentang sejarah perjuangan ABRI menyebabkan ia mampu mengedit film yang berjudul Pengkhianatan G 30 S/PKI.
Di bidang keredaksian dapat dicatat sejumlah pengalamannya, yaitu memimpin majalah Gelora, menjadi pemimpin redaksi Kompas, anggota dewan redaksi Mahasiswa bersama Emil Salim Tahun 1955-1958, menjadi ketua juri hadiah sastra, dan menjadi pengurus BMKN. Sewaktu di perguruan tinggi ia menjadi koresponden majalah Forum, dan menjadi redaksi majalah Pelajar.
Nugroho juga aktif dalam berbagai pertemuan ilmiah baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dalam tahun 1959-1976 tercatat empat kali pertemuan ilmiah internasional yang dihadirinya.

 Karier di bidang pendidikan

Di bidang pendidikan, Nugroho banyak memegang peranan penting. Ia pernah menjadi Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan FSUI, menjadi Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, UI. Tahun 1971-1985 Nugroho menjadi wakil Ketua Harian Badan Pembina Pahiawan Pusat. Ketika Nugroho dilantik menjadi Rektor UI, ia disambut dengan kecemasan dan caci maki para mahasiswa UI. Mahasiswa menganggap Nugroho adalah seorang militer dan merupakan orang pemerintah yang disusupkan ke dalam kampus untuk mematikan kebebasan kehidupan mahasiswa.
Pada tanggal 19 Maret 1983, Nugroho dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam Kabinet Pembangunan IV. Ia dikenal sebagai orang yang kaya ide, karena semasa menjadi menteri, ia mencetuskan banyak gagasan, seperti konsep wawasan almamater, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, Pendidikan Humaniora. Di samping itu, banyak jasa-jasanya dalam dunia pendidikan karena ia yang mengubah kurikulum menghapus jurusan di SMA, sistem seleksi penerimaan mahasiswa baru (Sipenmaru). Walaupun Nugroho hanya dua tahun menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, banyak hal yang telah digarapnya, yaitu Universitas Terbuka (UT) sebagai perguruan tinggi negeri yang paling bungsu di Indonesia. Program Wajib Belajar, Orang Tua Asuh, dan pendidikan kejuruan di sekolah menengah. Nugroho adalah satu-satunya menteri yang mengeluarkan Surat Keputusan mengenai tata laksana upacara resmi dan tata busana perguruan tinggi. Akan tetapi, sebelum SK ini terlaksana Nugroho telah dipanggil Tuhan Yang Maha Esa.
Penghargaan
Puncak pengakuan atas sumbangan Nugroho terhadap bangsa Indonesia adalah diberikannya Bintang Dharma, Bintang Gerilya, Bintang Yudha Dharma Nararya, Satyalancana Penegak.

Karier sebagai sastrawan

Pengarang yang dimasukkan H.B. Jassin ke dalam golongan sastrawan Angkatan 66 termasuk juga sastrawan angkatan baru (periode 1950-an) menurut versi Ajip Rosidi di antaranya adalah Nugroho Notosusanto.
Di antara pengarang semasanya, Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Sebagian besar pengarang waktu itu hanya menulis cerpen dan sajak, tetapi Nugroho banyak menulis esai. Nugroho menyelami zamannya, terutama tentang sastra dan kebudayaan. Tulisan-tulisan yang berisi pembelaan para sastrawan muda, yaitu ketika terdengar suara-suara tentang krisis kesusastraan, menyebabkan Nugroho Notosusanto tertarik dalam dunia sastra Indonesia. Nugroholah yang memprakarsai simposium sastra FSUI pada tahun 1953; yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai tahun 1958.
Bakat Nugroho dalam mengarang sudah terlihat ketika masih kecil. Ia mempunyai kesenangan mengarang cerita bersama Budi Darma. Cerita Nugroho selalu bernapas perjuangan. Pada waktu itu Republik Indonesia memang sedang diduduki oleh Belanda. Dari cerita-cerita yang dihasilkan Nugroho waktu itu, tampak benar semangat nasionalismenya. Menurut ayahnya, Nugroho mempunyai jiwa nasionalisme yang besar.
Sebagai sastrawan, pada mulanya Nugroho menghasilkan sajak dan sebagian besar pernah dimuat di harian Kompas. Oleh karena tidak pernah mendapat kepuasan dalam menulis sajak, Nugroho kemudian mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai. Karyanya pernah dimuat di berbagai majalah dan surat kabar seperti Gelora, Kompas, Mahasiwa, Indonesia, Cerita, Siasat, Nasional, Budaya, dan Kisah. Di samping itu, Nugroho juga menghasilkan karya terjemahan. Hasil terjemahan Nugroho, yaitu Kisah Perang Salib di Eropa (1968) dari Dwight D. Eisenhower, Crusade in Europe, Understanding Histotry: A Primer of Historical Method. Terjemahan tentang bahasa dan sejarah, yaitu Kisah daripada Bahasa, 1971 (Mario Pei, The Story of Language), dan Mengerti Sejarah. Karena Nugroho cukup lama dalam kemiliteran, ia dapat membeberkan peristiwa-peristiwa militer, perang serta suka-dukanya hidup, seperti dalam cerpennya yang berjudul Jembatan, Piyama, Doa Selamat Tinggal, Latah, dan Karanggeneng. Dalam cerpen ini bahasa yang digunakan padat dan sering ada kata-kata kasar. Nugroho juga dapat bercerita dengan bahasa yang halus, seperti yang terdapat pada cerpen yang berjudul Nini. Cerpen yang berjudul Nini ini bertema seorang anak yang cacat dan ditinggal meninggal oleh ibunya, tetapi masih mengingat-ingat kebaikan ibunya. Cerpen ini bahasanya sederhana dan isinya mudah dimengerti pembaca. Isi cerpen ini tentang seorang ayah mencintai anaknya yang cacat dan yang mirip dengan almarhumah istrinya.
Lingkungan pendidikan kata-kata kasar agaknya memberi pengaruh pada sikap dan pandangan hidupnya, seperti sikap terhadap dunia nenek moyang yang magis religius, seperti kita lihat dalam cerpennya yang berjudul Mbah Danu, yaitu mengisahkan dukun “Mbah Danu” yang terjadi di kota kelahiran pengarang. Dukun besar yang diakui keampuhannya di seluruh daerah dalam menyembuhkan orang sakit dengan mengusir roh-roh, setan-setan, dan jin-jin yang biasanya menghuni orang yang sedang sakit. Adanya kepercayaan mistik ini kemudian menimbulkan pertentangan di kalangan ilmuwan yang berpendidikan modern yang tak mau tahu tentang ilmu gaib. Begitu juga seorang dokter yang melakukan tugasnya dengan perhitungan ilmiah.
Sebagai pengarang dan sebagai tentara Nugroho dapat bercerita tentang suasana pertempuran, baik tentang tempat, maupun peralatan peperangan. Pengarang mau berkata sejujurnya bahwa manusia itu tidak bebas dari kesalahan, baik dia tentara, pelajar, maupun pemimpin, seperti yang dilukiskannya dalam cerpen Pembalasan Dendam.
Kumpulan cerpen Hujan Kepagian berisi enam cerita pendek yang semuanya menceritakan masa perjuangan menghadapi agresi Belanda. Buku ini cukup memberi gambaran tentang berbagai segi pengalainan manusia yang mengandung ketegangan, penderitaan, pendambaan, dan sesalan yang sering terjadi dalam peperangan. Dari sini tampak bahwa Nugroho mempunyai bakat observasi yang tajam.
Bukunya yang berjudul Tiga Kota berisi sembilan cerita pendek yang ditulis antara tahun 1953-1954, judul Tiga Kota diambil karena latar cerita terjadi di tiga kota, yaitu Rembang, Yogyakarta, dan Jakarta, kota yang paling banyak memberinya inspirasi untuk lahirnya cerita. Rembang melatari cerita kenangan Mbah Danu, Penganten, dan Tayuban. Yogyakarta dan Jakarta melatari cerita Jeep 04-1001 Hilang dan Vickers Jepang. Oleh karena itu, kumpulan cerpen tersebut diberi judul Tiga Kota. Cerpen-cerpen yang terkandung dalam Tiga Kota ini pada umumnya sangat menarik, tidak hanya karena penuturan cerita yang lancar dan dipaparkan dengan gaya akuan, tetapi juga karena penulis sendiri mengalami peristiwa yang dituturkannya. Dengan demikian, cerpen-cerpen itu kelihatan hidup. Kumpulan cerpen Tiga Kota, ini sedikitnya merekam kehidupan pribadi penulis.
Dalam seminar kesusastraan yang diselenggarakan oleh FSUI tahun 1963, Nugroho membawakan makalahnya yang berjudul Soal Periodesasi dalam Sastra Indonesia. Ia mengemukakan bahwa sesudah tahun 1950 ada periode kesusastraan baru yang tidak bisa lagi dimasukkan ke dalam periodisasi sebelumnya. Menurut Nugroho, pengarang yang aktif mulai menulis pada periode 1950-an adalah mereka yang mempunyai tradisi Indonesia sebagai titik tolaknya, dan juga mempunyai pandangan yang luas ke seluruh dunia. 

Karier sebagai sejarahwan dan kontroversinya
Sebagai seorang sejarahwan, Nugroho dimanfaatkan oleh ABRI maupun Orde Baru untuk menulis sejarah menurut versi pihak-pihak tersebut.[1] Pada 1964 ABRI menggunakan Nugroho untuk menyusun sejarah militer menurut versi militer karena khawatir bahwa sejarah yang akan disusun oleh pihak Front Nasional yang dikenal sebagai kelompok kiri pada masa itu akan menulis Peristiwa Madiun secara berbeda, sementara militer lebih suka melukiskannya sebagai suatu pemberontakan pihak komunis melawan pemerintah.
Ketika diangkat sebagai menteri pendidikan pada 1984, Nugroho menggunakan kesempatan itu untuk menulis ulang kurikulum sejarah untuk lebih menekankan peranan historis militer. Pada tahun ini pula Nugroho ikut menulis skenario untuk film Pengkhianatan G 30 S/PKI yang memuat versi resmi Orde Baru tentang tragedi tersebut. Film ini kemudian dijadikan tontonan wajib untuk murid-murid sekolah di seluruh Indonesia, dan belakangan diputar sebagai acara rutin setiap tahun di TVRI pada malam tanggal 30 September hingga tahun 1997.
Peranan Nugroho dalam penulisan sejarah versi Orde Baru paling menonjol ketika ia mengajukan versinya sendiri mengenai pencetus Pancasila. Menurut Nugroho, Pancasila dicetuskan oleh Mr. Muhammad Yamin, bukan oleh Soekarno. Soekarno hanyalah penerus. Akibatnya, tanggal 1 Juni tidak lagi diperingati sebagai hari lahir Pancasila oleh pemerintah Orde Baru.

 Kematian

Nugroho meninggal dunia hari Senin, 3 Juni 1985 pukul 12.30, di rumah kediamannya karena serangan pendarahan otak akibat tekanan darah tinggi. Ia adalah menteri keempat di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada masa Orde Baru yang meninggal dunia dalam masa tugasnya. Ia meninggal dunia tepat pada bulan yang mulia bagi umat Islam, yaitu pada bulan Ramadan dan di kebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

 Bibliografi

[sunting] Cerpen yang dibukukan

  1. Hidjau Tanahku, Hidjau Badjuku. 1963. Jakarta: Balai Pustaka
  2. Hudjan Kepagian. 1958. Jakarta: Balai Pustaka
  3. Rasa Sayange. 1961. Jakarta: Pembangunan
  4. Tiga Kota. 1959. Jakarta: Balai Pustaka

 Cerpen dalam majalah

 Prosa

  1. Pondok di Atas Bukit. Kompas untuk generasi baru, 11.1, (51), 15—17.
  2. Teratak. Kompas untuk generasi baru, 13.1, (51), 33-34. (Nugroho NS)
  3. Sebuah Pertemuan. Kompas untuk generasi baru, 2.2, (52), 33-35.
  4. Eksekusi. Madjalah Nasional, 44.4, (53), 20-21.
  5. Gunung Kidul. Madjalah Nasional, 30.4, (53), 20-2 1.
  6. Jeep 04-1001 Hilang. Kisah, 1.1, (53), 7, 9-10.
  7. Konyol. Madjalah Nasional, 33.4, (53), 20-22.
  8. Pembalasan Dendam. Madjalah Nasional, 37.4, (53), 20-22.
  9. Ideal Type. Kisah, 1.2, (54), 19-22
  10. Mbah Danu. Kisah, 9.2, (54), 271-172.
  11. Nokturne. Kisah, 12.2, (54), .365-368.
  12. Piyama. Kisah, 6.2, (54), 177-178.
  13. Puisi. Kisah, 7.2, (54), 210-211.
  14. Raden Satiman. Kisah, 3.2, (54), 79-81.
  15. Vickers Jepang. Kisah, 5.2, (54), 129-131.
  16. Jembatan. Kisah, 8.3, (55), 16-22.
  17. Partus. Mimbar Indonesia, 25.9, (55), 20-2 1, 24-25.
  18. Senyum. Madjalah Nasional, 6,7.6, (55), 25-26,22-23,26.
  19. Setan Lewat. Mimbar Indonesia, 6.9, (55), 20-21.
  20. Panser. Siasat, 524.11, (57), 29-31, 34.
  21. Tangga Kapal. Forum, 4-5.4 (57), 24,32.
  22. Kepindahan. Siasat, 598.12, (58), 31-32.
  23. Piano. Siasat, 574.12, (58), 24-27.
  24. Ular. Siasat, 595.12, (58), 26-29.
  25. Karanggenang. Siasat, 619.13, (59), 28-30.
  26. Latah. Siasat, 626.13, (59), 23-24.
  27. Sungai. Budaya, 8.8, (59), 276-279,
  28. Bayi. Femina, 16, (73), 42-44.
  29. Alun. Kompas untuk generasi baru, 1.2, (52), 67.
  30. Jerit di Malam Kelam. Madjalah Nasional, 18.3, (52), 17.
  31. Pesan di Malam yang Penub Bintang. Madjalah Nasional, 17.3, (52), 19.
  32. Rancangan Requiem. Kompas untuk generasi baru, 1.2, (52), 67.
  33. Sebuah Pagi. Madjalah Nasional, 49.3, (52), 21.
  34. Sepotong Kenangan. Madjalah Nasional, 46.3, (52), 19.
  35. Sesal. Kompas untuk generasi baru, 2.2, (52), 36.
  36. Tiwikraina. Madjalah Nasional, 47.3, (52), 19.
  37. Adios Yogya. Madjalah Nasional. 10.4, (53), 19.
  38. Amerta. Madjalah Nasional, 16.4. (53), 19.
  39. Bali. Budaya, 9, (53), 39.
  40. Longka Pura. Madjalah Nasional, 16.4, (53), 19.
  41. Sebuah Malam Minggu. Madjalah Nasional, 14.4, (53), 19.

 Referensi

  1. ^ http://www.insideindonesia.org/edit68/Nugroho1.htm A soldier's historian: New Order generals needed new history books. Nugroho Notosusanto was their man.