Stasiun Rembang |
Menyusuri Jejak Sejarah Kereta Api di Rembang
(Hidupmu Dulu dan Matimu Kini)
Oleh: Setya Agung Priyatmaja*)
1. Latar belakang
Bekas Sinyal Kereta dekat st.Rembang |
Tak cukup sampai disitu aku bertanya-tanya kepada siapa saja yang tau tentang sejarah perkereta apian di Rembang dan rata-rata sama mereka hanya menjawab bahwa memang sekitar sebelum tahun 1970-an kereta di Rembang mengalami masa kejayaannya berbanding jauh dengan masa sekarang yang hanya tersisa stasiunnya saja itupun kondisinya sudah tak terawat.
Bahkan ketika saya masih SMP dulu pernah punya angan-angan bila jalur kereta Lasem-Rembang walau sudah tidak berfungsi setidaknya bisa digunakan sebagai jalur kereta wisata karena pemandangannya bagus masih asri Gunung Lasem pun juga menjadi daya tarik tersendiri jika itu benar-benar di wujudkan. Dan memang pikiran saya saat itu yang sudah mulai tertarik untuk mengurusi hal-hal yang berbau sejarah dan menurut saya itu aset yang tak ternilai harganya, karna pasti pada saat pembangunanya yang menurut sejarah jalur kereta Semarang-Rembang di bangun tahun1884-1900 sedangkan menuju ke timur yaitu Lasem-Jatirogo jalur keretanya di bangun tahun 1914-1919 dan Juana (Joana)-Lasem mulai di buka tanggal 1 Mei 1900 banyak menelan korban akibat kerja paksa Belanda saat itu sungguh pengorbanan yang harus di bayar mahal, jalur kereta Rembang-Semarang merupakan pioner dari kejayaan perkereta apian di Semarang itu sendiri pembangunan rel pertama diprakarsai oleh Gubernur Jenderal tanah jajahan pada tanggal 7 Juni 1864 yang berlokasi di desa Kemijen (sekarang Stasiun Gudang Semarang). Pelaksanaan proyek pembangunan dipimpin Baron Sloet Van den Beele (1886-1866). Berselang tiga tahun kemudian jalur Semarang-Temanggung sepanjang 25 km dioperasikan sebagai angkutan umum. Dan menurut cerita mbah-mbah saya dulu keretanya tahun 1970-an ahir masih menggunakan tenaga Uap jadi petugas keretanya akan selalu sibuk membakar kayu di perut lokomotif bagian depan makanya tak mengherankan kalau sekarang di Stasiun Pamotan masih tersisa bak penampung air yang sangat besar dan tinggi yang orang dulu bilang “sepure ngombe ndisik” (Keretanya minum dulu) untuk kemudian air itu di jadikan uap sebagai tenaga penggeraknya dan baru setelah itu kereta api di Indonesia pada umumnya sudah menggunakan tenaga diesel di susul tenaga listrik era tahun 1980-an hingga sekarang.
Nah dari alasan alasan di atas maka saya akan mencoba menulis sejarah perkereta apian di Kabupaten Rembang dan sekitarnya, semoga bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan menjadikan pertimbangan bagi PT. KAI untuk menghidupkan kembali jalur kereta api yang mati di sepanjang jalur pantura Jatirogo-Rembang-Pati-Kudus-Demak dan Semarang. Semoga.
2. Pembahasan
a. Sekilas Tentang Sejarah Perkereta Apian Di Jawa Sekaligus di Indonesia
Perkeretaapian di Indonesia di mulai tanggal 17 Juni 1864 dengan pemasangan rel kereta api pertama di Semarang (Kemijen) sampai Tanggungharjo. Proyek tersebut dilaksanakan oleh NISM (Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij) dan peresmiannya dilakukan oleh Gubernur Jenderal Sloet Van Beele. Pemasangan lintas pertama ini nampaknya semata-mata bermotif komersial, karena hasil bumi (tembakau, nila, dan gula) dari daerah Surakarta dan Yogyakarta (Voreten Landen) yang merupakan bahan ekspor, memerlukan angkutan cepat untuk sampai di pelabuhan Semarang.
Pada tahun 1868 selesai pembangunannya dan mulai beroperasi untuk umum kereta jurusan Semarang – Tanggung (Kabupaten Grobogan) sepanjang 26 km atas permintaan raja Willem I yang awalnya hanya merupakan jalur percobaan saja namun hasilnya menjanjikan. Pada tahun 1870 selesai dipasang dan dibuka untuk umum lintas Semarang - Gundih - Surakarta. Tahun 1871 - 1873 dilakukan pemasangan rel Surakarta - Yogyakarta - Lempuyangan. Tanggal 10 April 1869 juga dipasang oleh NISM lintas Jakarta - Bogor selesai tahun 1873. Lintas ini kemudian diambil oleh pemerintah yang mendirikan perusahaan kereta api pemerintah yang dinamakan SS (Staaatsspoor Wegen). Kemudian dilanjutkan pemasangan lintas Bogor - Sukabumi - Bandung - Kroya - Yogyakarta - Surabaya. Pada lintas Yogyakarta - Surakarta terdapat rel triganda (jalur dengan tiga batang rel) karena NISM menggunakan rel lebar (1,435 m) sedang SS sendiri menggunakan rel normal yakni lebar 1,067 m. Tahun 1903 mulai dipasang oleh NISM lintas Kedungjati - Ambarawa - Magelang - Yogyakarta. Tahun 1907 lintas Secang - Temanggung - Parakan. Tahun 1899 - 1903 dipasang oleh NISM Semarang - Cepu - Surabaya. Kemudian tertarik oleh keuntungan yang diperoleh NISM menyusul berdirinya perusahaan-perusahaan kereta api swasta lainnya yang berjumlah sepuluh perusahaan yaitu 5 diantaranya berpusat di kota Semarang antara lain yakni Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS), Serajoe Dal Stoomstram Maatschappij (SDS), Semarang Joanaa Stoomstram Maatschappij ( SJS), Old Java Stoomstram Maatschappij (OJS) Gedung Joana Stroorntraam Maatchappij sekarang menjadi kantor Daop 4 PT KA di Jalan MH Thamrin Semarang. Perusahaan kereta api besar lainnya, yakni Nederlandsch-Indische Spoorwegmaatschappij (NIS) berkantor di Lawang Sewu. SCS mengelola jalur Semarang Cirebon, SDS jalurnya Maos, Purwokerto, Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo. Sedangkan SJS (Semarang Joana Stoomtrammascapaj) untuk jalur Semarang, Demak, Kudus, Pati, Rembang, dan Lasem.
b. Perjalanan Kereta Api di Rembang
Stasiun Pamotan Kini |
Di kabupaten Rembang terdapat 3 stasiun yang boleh dibilang besar untuk ukuran stasiun wilayah kabupaten di Indonesia yaitu Stasiun Rembang, Stasiun Lasem serta stasiun Pamotan , walaupun kondisinya sekarang sudah sangat memprihatinkan namun sisa-sisa kejayaan masih bisa terlihat jejak jejak sisa ornamen khas kolonial masih sangat kental terlihat.
Bagian loket stasiun Lasem |
Tuas Pemindah Rel di Stasiun Rembang |
Pembangunan jalur Semarang-Rembang ini adalah pembangunan jalur kereta api tahap ke 2 yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda proyek yang dimulai tahun 1888 itu dan selesai sekitar tahun 1900-an menggunakan tenaga penduduk para penduduk pula harus merelakan tanah mereka untuk di buat jalur perlintasan kereta api yang pada pertengahan abad XIX pemerintah Hindia Belanda mulai merasa membutuhkan pembangunan jalur kereta api sejak berkembnagnya perkebunan terutama, terutama dipedalaman Jawa dan daerah tambang di Sumatera. Pengankutan hasil perkebunan sudah tidak dapat dipenuhi lagi oleh transportasi lewat jalan-jalan pos (Jalur Daendels), gudang-gudang penuh sesak hingga tidak dapat menampung lagi barang yang datang. Sedangkan kapal-kapal dipelabuhan terpaksa menunggu lama, sering kali berbulan-bulan. Pengankutan terutama kopi, tebu, temakau, indigo, dan gula menuju pelabuhan sangat lambat dan kurang efisien lagipula hasil perkebunan dapat mengalami kerusakan. Dibutuhkan sistem pengangkutan yang tidak boros waktu dan hemat biaya. Maka, pembangunan jalur kereta api bertolak dari kota-kota pelabuhan yaitu Semarang, Batavia, dan Surabaya menuju daerah-daerah sumber penghasil produk perkebunan termasuk di wilayah kabupaten Rembang dan sekitarnya yang pada jaman tanam paksa merupakan daerah penghasil tebu yang cukup besar di Jawa.
Bekas Rel di Jalan A. Yani Rembang yang masih tersisa |
Kalau kita identifikasi lebih mendalam mengapa saat itu sangat tertarik mengembangkan proyek perkereta apian di sepanjang pesisir utara Jawa karena ia menganggap daerah utara Jawa adalah pusat transportasi darat dan laut serta Belanda sengaja trayek Semarang-Rembang-Surabaya disandingkan pada kanan dan kiri jalur Daendels agar masyarakat tahu betapa matangnya proyek yang telah Belanda kerjakan demi kelancaran transportasi darat yang sangat berkembang pesat pada abad XIX utamanya perkereta apian di eropa kemudian diadopsikan di Indonesia khususnya di Pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan. Kemantapan jalur kereta api ini sangat didukung dengan majunya tehnologi uap yang ditemukan James Watt. Dengan demikian jelas lokomotif uap tampil sebagai tonggak sejarah perkereta apian di belahan dunia manapun. Bahkan sampai ahir Perang Dunia II terdapat 982 lokomotif dari 69 jenis, sedangkan beberapa kereta api uang yang pernah beroprasi di Indonesia yaitu Lokomotif Uap Tahun 1898: Seri B Bristol, Lokomotif Uap Tahun 1905: Seri C Birmingham, Lokomotif Uap Tahun 1920: Seri BB Manchester, Lokomotif Uap Tahun 1930: Seri CC Manchester, Lokomotif Uap Tahun 1954: Seri D54 Krupp Liepzig. Di Indonesia tidak ada lokomotif super besar sepert Big Boy, Challenger, atau Northern yang terdapat di Eropa dan Amerika . Namun ada lokomotif bergigi di Ambarawa dan Sumatera Barat.
Kereta Api rute Semarang-Lasem melintas di Kaliori Mei 1976 |
Peta Jalur KA yang mati di Jateng (warna merah) |
Kereta uap yang beroprasi di kabupaten Rembang- Semarang hanyalah lokomotif kecil yaitu jenis D 301/D 300 serta jenis B, berbeda dengan daerah lain yang bisa dilintasi oleh kereta lokomitif besar jenis BB 200, CC 201, dan 203, kalau kita bandingkan dengan seksama rel yang membentang Semarang-Rembang-Lasem ukurannya memang lebih kecil di banding rel jurusan lainnya pada saat itu, maka tak mengherankan hanya loko kecil padahal SJS selaku pengelola sudah melihat peluang besar bagi bisnis transportasi kereta ketika itu, kemungkinan mereka sengaja memperkecil ukuran spoor (bentang rel) yang hanya 1067 mm selain karena menghindari kecelakaan kereta besar yang tentunya memiliki beban yang sangat berat dan berkecapatan cukup tinggi yang rawan terkena hembusan angin laut yang kencang sehingga bisa terjadi hal buruk. SJS sepertinya pula menghindari kerjasama yang terlalu dekat dengan NISM (Netherlandsch Indishche Spoorweg Mastchappij) yang memiliki bentang spoor rata-rata 1435 mm, SJS takut kalau terjadi kerjasama, NISM akan terlalu mengatur SJS sehingga keuntungan yang diterima SJS menjadi kecil. Walaupun demikian SJS mengakui jaringan kereta yang ia miliki masih kalah besar dan modern yang dikelola NISM selaku usaha kereta api milik pemerintah Hindia Belanda.
Kereta yang uap yang melintas di jalur Rembang-Lasem terdiri dari lokomotif seri B kecil berwarna hitam pekat dan merah pada bagian bawah depan pada bagian belakang cerobong asap terdapat tonjolan yang mirip dengan cerobong namun berwarna emas. Kayu bakar senagai pembuat api di tungku pembakaran uap pun ditempatkan dibelakang ruang kendali masinis kayu-kayu itu ditumpuk rapi agar mudah diambil dan dimasukkan kedalam tabung bagian depan sebagai penghasil uap. Di belakang lokmotif kereta ini hanya menarik 3 gerbong saja karena memang ketika itu masih jarang orang bepergian jauh dan tiga gerbong ini jika penuh sesak sudah di anggap ramai penumpang, 2 gerbong di depan adalah gerbong penumpang sedangkan satu gerbong di belakang adalah gerbong barang dan hewan, jenis lokomotif ini sekarang bisa kita saksikan di kompleks gedung Lawang Sewu Semarang.
Jembatan KA di Perbatasan Rembang-Pati (kec. Kaliori) |
Pada jaman kolonial tarif kereta dibedakan berdasarkan pangkat/golongan masyarakat ketika itu yaitu: Pada kereta api penumpang, ada empat kelas, dari kelas satu sampai dengan kelas empat. Kelas jenis kedua terakhir, lazimnya diperuntukkan bagi kaum pribumi dengan papan bertuliskan Inlanders. Perbedaan kelas juga didasarkan atas perbedaan tarif, seperti berikut:
kelas 1 = 5 ½ sen per km dan diperuntukkan terutama bagi warga Eropa/kulit putih
kelas 2 = 3 sen per km, diperuntukkan bagi kelas bangsawan/orang kaya
kelas 3 = 1 sen per km, diperuntukkan bagi kelas pribumi.
c. Tahap Pembangunan Jalur Kereta Api Oleh Belanda di Seluruh Indonesia
Sejak tahun 1864 hingga 1925 telah dibangun jalur rel sebagi berikut:
Jalur Pertama 1864: Kemijen (Semarang) - Tanggungharjo 26 km
Posisi hingga Tahun 1888: Batavia - Bogor - Sukabumi – Bandung, Batavia - Tanjung Priok dan Batavia – Bekasi, Cilacap - Kutoatjo - Yogya - Solo - Madiun - Sidoarjo – Surabya, Kertosono - Kediri – Blitar, Sidoarjo - Malang dan Bangil - Pasuruan – Probolinggo, Solo - Purwodadi - Semarang dan Semarang – Rembang, Tegal - Balapulang
Posisi hingga Tahun 1899: Batavia – Rangkasbitung, Bekasi – Krawang, Cicalengka - Cibatu (Garut) - Tasikmalaya - Maos – Banjarnegara, Cirebon - Semarang dan Semarang – Blora, Yogya – Magelang, Blitar - Malang dan Krian – Surabaya, Sebagian jalur Madura
Posisi hingga Tahun 1913: Rangkasbitung - Labuan dan Rangkasbitung – Anyer, Krawang - Cirebon dan Cikampek – Bandung, Pasuruan – Banyuwangi, Seluruh jaringan Madura, Blora - Bojonegoro - Surabaya
Posisi hingga Tahun 1925: Sisa jalur Pulau Jawa, Elektrifikasi Jatinegara - Tanjung Priok, Elektrifikasi Batavia – Bogor, Sumatra Selatan: Panjang - Palembang dan, Sumatera Barat: sekitar Sawahlunto dan Padang, Sumatera Utara: Tanjung Balai - Medan - Pematangsiantar; dan Medan - Belawan – Pangkalansusu, Sulawesi: Makasar - Takalar dan rencana Makasar - Maros – Sinkang, Sulawesi Utara: rencana Manado – Amurang, Kalimantan: rencana Banjarmasin - Amuntai; dan rencana Pontianak – Sambas. Untuk Kalimantan dan Sulawesi tidak terlaksana karena baru akan dimulai dibangun tahun 1941 dan Perang Dunia II meletus.
d. Peresmian dan Pembukaan Jalur Kereta yang Selesai Dibangun oleh SJS
Peta Bentang Spoor (by Rob Dickinson) |
Setelah selesai membangun jaringan kereta api SJS melakukan pembukaan perdana jalur mereka termasuk jalur Rembang-Lasem dan kota-kota disekitarnya yaitu: SJS (Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij): Semarang-Genuk-demak-Kudus-Pati-Joana (1883-1884), Demak Purwodadi-Blora (1888-1894), Mayong-Pancangan (dibuka 5 Mei 1895), Wirosari-Kradenan (dibuka 1 Nopember 1898). Lasem-Jatirogo (1914-1919), Rembang-Cepu lewat Blora (1902-1903), Joana-Lasem (dibuka 1 Mei 1900), M ayong-Welahan (dibuka 10 Nopember 1900).
3. Penutup
Saran Untuk Pemerintah dan PT KAI:
Megahnya bekas Stasiun Rembang |