Masa Kejayaan Pelabuhan dan Galangan Kapal di Ndasun kec.Lasem
Friday, 7 December 2012
Friday, 16 November 2012
Sejarah Hari Jadi Kabupaten Rembang (27 Juli 1741)
Munculnya pemerintahan
Rembang secara tidak langsung erat kaitannya dengan pembrontakan Cina atau
perang pacina yang terjadi pada pemerintahan Paku Buwana II (1726-1749) di
Kerajaan Mataram Kartasura.
Pada tahun 1740 terjadi
“pembrontakan” orang-orang Cina yang meluas hampir ke selulruh Jawa.
Pembrontakan itu pada awalnya hanya berkecambuk di Jakarta (Batavia) sebagai
akibat tindakan sewenang-wenang dari orang-orang Belanda (VOC) terhadap
orang-orang Cina yang tinggal di Batavia. Pada waktu itu Jendral kompeni yaitu
Valkenier mengeluarkan peraturan yang mengharuskan orang-orang Cina atau Tiong
Hwa untuk memiliki surat ijin tinggal (Verblijf verguning di Hindia Belanda,
khususnya di Batavia yang pada waktu itu memang banyak orang-orang Cina yang
tinggal di kota itu. Tentu saja hal itu sangat mengejutkan bagi orang-orang
Cina yang tinggal lama di Batavia tanpa memiliki surat ijin tinggal. Apalagi
sejak semula kedatangan mereka ke Batavia sebagai perantau, bahkan sebagian
besar dari mereka memang didatangkan oleh Belanda untuk bekerja di
perkebunan-perkebunan atau perusahaan/perdagangan VOC, tidak pernah melalui
atau dikenakan persyaratan memiliki ijin tinggal. Oleh karena itu bisa
dimengerti peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Verkenier itu oleh
orang-orang Cina dianggap sebagai mengada-ada bahkan suatu penghianatan bagi
mereka. Lebih menyakitkan lagi bahkan surat ijin tinggal itu harus dibeli
dengan harga cukup mahal, dan bagi siapa saja (orang-orang Cina) yang tidak
mampu membeli akan dipulangkan ke Tiongkok dan sebagian lagi dikirim ke Sailan
untuk dipekerjakan pada perkembangan-perkebunan Belanda di negeri itu.
Pad waktu itu
“pembrontakan Cina” sudah mulai merebet ke Jawa Tengah, pada mulainya Paku
Buwana II memberikan dukungan sepenuhnya kepada pembrontakan tersebut yang di
pimpin oleh Tai Van Sen. Bahkan pada tahun 1741 benteng kompeni yang ada di
kartasura diserang para pembrontak dn dalam waktu yang singkat dapat diduduki. Bersama
dengan para prajurit Kartasura para pembrontak juga berhasil membunuh komandan
benteng kompeni Vilsen dan beberapa opsir lainnya, sedangkan prajurit-prajurit
kompeni lainnya yang bersedia masuk Islam diberi pengampunan. Setelah peristiwa
itu Paku Buwono II dengan semboyannya Perang Suci memerintahkan kepada para
bupati di seluruh wilayah Mataram untuk bergabung dengan pembrontakan Cina guna
menghancurkan kompeni. Oleh karena itulah pembrontak gabungan Cina dan Jawa ini
dengan cepat bisa meluas ke seluruh Jawa.
Khususnya Rembang yang
saat itu Bupatinya adalah Ngabehi Anggadjaja, perlawanan terhadap kompeni yang
dilandasi oleh Perang Suci itu betul-betul meletus setelah datangnya gerombolan
pemberontak Cina dari Batavia dibawah pimpinan Pajang. Pada waktu itu kota Rembang
di kepung selama 1 bulan, dan garnisun kompeni yang ada di kota itu tidak mampu
menghadapi pembrontak. Bahkan ada perintah dari semarang untuk melarikan diri,
pasukan kompeni itu tetap tidak mampu menerobos kepungan pembrontak. Ahirnya
garnisium kompeni dapat dihancurkan dan residen Rembang saat itu ikut terbunuh.
Peristiwa penghancuran Garnisun Kompeni di Rembang ini mulai terjadi pada 27
Juli 1741
Dalam pengepungan kota
Rembang oleh pembrontak selama 1 bulan, garnisun kompeni di kota ini nampaknya
harus berjuang sendiri menghadapi pembrontak. Artinya tidak ada bantuan dari
orang-orang pribumi setempat atau dari Bupati Rembang pada waktu itu yaitu
Ngabei Anggajaya. Sebagai salah satu bupati pesisiran, Anggajaya pasti
mempunyai prajurit yang besar, dan apabila mau juga pasti mampu menumpas segerombolan
Cina dibawah pimpinan Kerajaan Pajang. Dengan demikian dapat pula dipastikan
bahwa Bupati Rembang bersama prajuritnya memang bergabung dengan orang-orang
Cina untuk menghancurkan garnisun kompeni yang bersenjata lengkap. Dengan
demikian jatuhnya Kota Rembang pada tanggal 27 Juli 1741 merupakan peristiwa
heroik dan awal pergerakan rakyat Rembang melawan kompeni. Tanggal inilah yang
sekarang digunakan sebagai hari jadi Kota Rembang.
Monday, 17 September 2012
Tradisi Unik Pengantin di Desa Loram Kulon Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus
...”Sepasang Pengantin yang salah
satu atau keduanya merupakan warga desa Loram, wajib mengelilingi gapura Masjid
sebanyak 3 kali sambil membaca “Allahumma barik lana bil khoir” (Ya Allah
berkahilah kami dengan kebaikan).
Gapura Masjid Wali Loram Kulon, Kudus Tempat Tradisi Pengantin mengelilingi Gapura Masjid |
Seperti
biasa setiap saya melakukan perjalanan ke pelosok Rembang dan Kudus tidak
lengkap rasanya tanpa mencari-cari sesuatu unik dari ke dua daerah ini meski kadang itu membuat bahan
guyonan siapapun yang bersamaku saat perjalanan itu kata mereka aku sebagai
orang langka yang selalu mencari hal-hal yang aneh tapi ya memang beginilah
sebagai mahasiswa Sejarah hehe. Kebetulan hari Sabtu (15/09/12) saya dan adik
saya ke Kudus, yap sejenak mampir ke rumah teman saya Hilya Antami dan Endah
Setyoningsih (teman satu jurusan Sejarah) di desa Loram Kulon kabupaten Kudus.
Mereka agaknya membuat saya bertanya-tanya tentang tradisi unik yang ada di
desa mereka yaitu tradisi pengantin mengelilingi gapura kuno masjid desa Loram
mereka menyebutnya sebagai Masjid Wali atau Masjid At-Taqwa yang meniliki
gapura kuno abad 16 berbentuk mirip gapura Pura tempat suci agama Hindu di
Bali. Kebetulan juga pada hari ini saat saya ingin melihat masjid wali ini
sedang ada prosesi pengantin mengelilingi gapura masjid, sebuah moment yang
luar biasa bagiku, namun sayang saya tidak berbekal camera saku saking
terkesimanya dengan prosesi itu sampai-sampai saya lupa kalau kamera HP pun
juga bisa digunakan untuk mendokumentasikan. Nah sepasang pengantin sudah
selesai melakukan prosesi Ngubengi gapuro (mengelilingi gapura) eh lha saya baru
nyadar kalau ada kamera HP tapi ya sudahlah cukup memotret gapura ini tanpa ada
pengantinnya L.
Sembari melihat prosesi itu ada bapak-bapak paruh baya mendekati saya dan
menerangkan sedikit tentang sejarah masjid dan asal usul prosesi itu dengan sangat
ramahnya, nah berikut penjelasan sang bapak yang saya lupa menanyakan namanya
hehe
Sekilas Tentang Sejarah Berdirinya
Masjid Wali Loram Kulon, Kudus
Pintu tengah Gapura Masjid Wali yang dibagun abad 16 M |
Masjid
At-taqwa atau Masjid Wali menurut kisahnya didirikan oleh seorang muslim dari Campa Tjie Wie Guam, ia adalah
seorang pegembara yang singgah di Jepara yang saat itu sedang dipimpin oleh
Ratu Kalinyamat istri Sultan Hadiri yang merupakan menantu Sultan Trenggono
raja Demak. Jepara saat itu masih di bawah wilayah kerajaan Demak. Masjid Wali
didirikan sekitar tahun 1596-1597 bertepatan dengan saat-saat masa peralihan
Hindu-Budha ke Islam. Kudus yang ketika itu adalah wilayah agamis Hindu sulit
meninggalkan begitu saja tradisi Hindu yang bahkan sisanya masih sampai
sekarang seperti dilarang menyembelih sapi tapi diganti kerbau serta adanya
menara kudus (menara Adzan yang menyerupai Mehru bangunan yang biasanya ada di
Pura agama Hindu) di komplek masjid Menara dan makam Sunan Kudus. Begitu pula
saat Tjie Wie Guam menjadi orang yang sangat dekat dengan Sultan Hadiri, ada
yang bilang juga Tjie wie Guam adalah suami Roro Prodobinabar putri Sunan Kudus
ia ditugaskan untuk membuat masjid
dengan menambahkan ornamen-ornamen Hindu yaitu pada gapura masuk masjid
yang bertujuan agar warga sekitar tertarik dan mau masuk ajaran Islam.
Gapura
ini terbuat dari batu bata merah (sama halnya dengan Menara Kudus) yang disusun
dengan sangat rapi yang terdiri dari tiga pintu denga pintu tengah sebagai pintu
masuk utamanya namun menurut penuturan narasumber bata-bata itu sebagian besar
sudah tidak asli, namun sudah pernah dipugar yang dipimpin oleh para arkeolog
dari Surakarta. Pada tahun 1996 Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa
Tengah menetapkan gapura masjid wali sebagai bangunan cagar budaya yang wajib
dilestarikan dan dipelihara.
Bagunan
asli dari masjid ini sebenarnya adalah kayu jati yang beberapa sudutnya
terdapat ukiran-ukiran cantik, adapula beduk serta tempat wudhu namun kini
telah dipugar beda jauh dengan bangunan aslinya, serta entah kemana peninggalan-ppeninggalan
itu. berkat keberhasilan besarnya itu ia diberikan julukan oleh Ratu Kalinyamat
dengan sebutan “Sungging Badar Duwung” yang jika diartikan satu-satu Sungging
berarti ahli ukir, Badar artinya Batu, dan Duwung berarti tatah (alat ukir). Dia
inilah yang dipercaya oleh masyarakat Kudus sebagai orang yang mengawali seni
ukir gebyok di Kudus.
Tradisi Pengantin Mengelilingi
Gapura Masjid Wali
Masyarakat Loram Kulon percaya bahwa
sepasang Pengantin yang salah satu atau keduanya merupakan warga desa Loram,
wajib mengelilingi gapura Masjid sebanyak 3 kali sambil membaca “Allahumma barik lana bil khoir” (Ya
Allah berkahilah kami dengan kebaikan) akan mendapankan limpahan rizki serta
kelangsungan kehidupan mereka akan langgeng penuh berkah Allah. Kepercayaan ini
tidak lepas dari tradisi ratusan tahun lalu yang telah mereka lakukan. Sesuai
kelanjutan cerita diatas setelah masjid berdiri kokoh lengkap dengan gapura
mirip Pura masyarakat Loram dan sekitarnya semakin banyak yang memeluk Agama
Islam yang dulunya beragama Hindu-Budha, setelah mereka selesai melaksanakan
ijab sepasang pengantin akan meminta didoakan oleh pendidri masjid tersebut
yaitu Tjie Wie Guam. Semakin lama semakin banyak pengantin yang minta didoakan
untuk mempesingakat waktu beliau menyuruh mereka untuk mengelilingi gapura dan
akan di doakan secara bersama-sama.
Setelah jaman modern seperti
sekarang prosesi ini sudah di kemas dengan modern setelah selesai melakukan ngubengi gapuro sepasang mempelai akan
melakukan prosesi foto dengan gapura masjid wali sebagai backgroundnya.
Sebenarnya ini bukanlah kewajiban namun masyarakat percaya siapa yang tidak
melakukan ritual ini suau saat akan mendapatkan banyak rintangan dalam
kehidupan berkeluarganya.
Sunday, 22 July 2012
Kudus Tempo Dulu
Kota Kudus yang sangat mempesona itu ternyata sejak dulu sudah sangat indah,lihat saja foto-foto lama Kudus yang diabadikan oleh Fotografer Belanda berikut ini:
1. Menara Kudus tahun 1936
3.Kantor Bupati Kudus tahun 1936
4. Masjid Kota Kudus 1970
5. Stasiun Kudus 1936
6. Bupati Kudus RMT. Tjondronegoro tahun 1862
7. Penari Kudus 1867
1. Menara Kudus tahun 1936
2. Alun-Alun Kudus tahun 1936
3.Kantor Bupati Kudus tahun 1936
4. Masjid Kota Kudus 1970
5. Stasiun Kudus 1936
6. Bupati Kudus RMT. Tjondronegoro tahun 1862
7. Penari Kudus 1867
Monday, 9 July 2012
Akar Kemiskinan Nelayan
Nelayan Rembang |
Kabupaten Rembang adalah satu dari puluhan kabupaten di Jawa tengah yang memiliki wilayah laut. sejak dulu Rembang selalu mengandalkan berbagai hasillaut sebagi sektor yang menjanjikan berkembangnya perekonomian di Rembang, pelabuhan yang sudah ada sejak lama bahkan sejak Kerajaan Majapahit membuat masyarakat nelayan Rembang merupakan nelayan mandiri yang tahan terhadap berbagai dinamikayang menyangkut krhidupan sosial ekonomi mereka, namun tahukan kalian bahwa nelayan kerap di kaitkan dengan kemiskinan? jika diabandingkan dengan perkampungan lain, suasana kumuh serta kehidupan yang tak layak kerap menjadi sasaran empuk kelamnya kebodohan serta kemiskinan.pemikiran monoton merekalah yang ternyata kemiskinan ini menjadi berakar kuat hingga kini di kehidupan para nelayan kita termasuk di Kabupaten Rembang. Mari kita simak buku Akar kemiskinan Nelayan karya Kusnadi yang diterbitkan LkiS Yogyakarta berikit ini:
Dari masa ke masa kehidupan nelayan semakin dalam kondisi
yang memburuh dibawah garis kemisinan, yaitu hidup dalam ketidak pastian.
Nelayan yang bisa bertahan dan meningkatkan kesejahteran hidupnya adalah
nelayan yang memiliki modal besar yang bisa menjelajahi lautan hingga kelepas
pantai, akan tetapi jumlah mereka relatif kecil. Sebaliknya bagi nelayan
teradisional dengan kepemilikan modal yang relatif kecil, peralatan yang
sederhana harus puas dengan kenyataan pahit dan hidup dalam persaingan yang
keras dalam memperoleh hasil tangkapan.
Masalah kemiskinan merupakan hal yang sangatlah kompleks
yang disebabkan oleh berbagai faktor, sebab-sebab kompleks kemiskinan nelayan
dapat di katagorikan ke dalam 2 hal yaitu:
1.
Bersifat internal
Sebab internal dari kemiskinan nelayan berkaitan dengan
sumber daya manusianya dalam hal ini nelayan dan aktivitas kerja mereka, hal
ini mencakup:
a.
Terbatasnya kualitas sumber daya manusia nelayannya
b.
Keterbatasan kemampuan
modal usaha dan teknologi penangkapan
c.
Hubungan kerja (
pemilik perahu ,nelayan buruh) dalam organisasi penangkapan yang dianggap
merugikan nelayan buruh
d.
Kesulitan melakuan
diversifikasi usaha penangkapan
e.
Ketergantungan tinggi
terhadap okupasi melaut
f.
Gaya hidup yang
dipandang boros sehingga kurang berorientasi kemasa depan.
2.
Bersifat eksternal
Sedangkan sifat kemiskinan eksternal berkaitan dengan
aktivitas kerja nelayan yaitu :
a.
Kebijakan pembangunan
perikanan yang lebih berorientasi pada produktivitas untuk menunjang
pertumbuhan ekonomi nasional dan persial
b.
Sistem pemasaran hasil
perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara
c.
Kerusakan ekologi
pesisir dan laut karena pencemaran dari daerah daratan
d.
Penggunaan peralatan
tangkap yang tidak ramah ingkungan
e.
Penerapan hukum yang
lmah terhadap perusakan lingkungan
f.
Terbatasnya teknologi
pengolahan hasil tangkapan pascapanen
g.
Terbatasnya
peluang-peluang kerja disektor non pendidikan yang tersedia didesa-desa
h.
Kondisi alam dan
fluktuasai musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun
i.
Isilasi geografis desa
nelayan yang menggunakan mobilitas barang, modal dan manusia.
Kedua sebab tersebut saling berinteraksi dan semakin
menambah penderitan dan kemiskinan masyarakat nelayan. Problem kemiskinan masyarakat nelayan mulai muncul ke
permukaan setelah satu dekade dilaksanakannya kebijakan nasional tentang
motorisasi perahu dan modernisasi peralatan tangkap pada awal tahun 1970-an.
Kebijakan ini dikenal dengan istilah revolusi biru (blue revolution). Proyek besar ini berimplikasi pada keserakahan sosial
atas sumber daya perikanan yang mendorong setiap individu untuk berkuasa penuh
terhadap sumber daya tersebut. Keserakahan ini akan berakibat pada kelangkaan
sumber daya perikanan. Kompetisi yang semakin tinggi dan kesenjangan akses dan
pendapatan yang berimplikasi pada timbulnya kesenjangan sosial ekonomi antar
pengguna sumber daya perikanan
Kemiskinan di komunitas
nelayan masuk dalam kategori kemiskinan cultural dan kemiskinan structural.
Jika kita telusuri kemiskinan nelayan sebenarnya hanya karena tiga factor pokok
yaitu;
1.
rendahnya political will pemerintah dalam membangun dunia
kelautan dan perikanan secara integral. Kondisi ini bisa kita lihat
dengan orientasi pembangunan ke perdesaan darat, bukan pesisir. Penempatan
nelayan sebagai obyek pembangunan akhirnya mematikan inisiatif dan daya ungkit
kearifan lokal.
2.
lambannya proses alih teknologi di masyarakat pesisir.
Nelayan luar negeri mencuri ikan di Negara kita dengan kapal serta alat canggih
sehingga hasilnya bisa untuk hidup satu bulan. Kecanggihan teknologi pencuri
ikan telah merugikan Negara hampir 40 trilyun per tahun karena illegal fishing.
Nelayan kita sangat jauh tertinggal secara teknologi, baik penangkapan ataupun
pengolahan. Kapal tangkap yang hanya dilengkapi jaring tradisional hanya bisa
menjangkau puluhan mil dari pantai, hasilnyapun tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan primer, apalagi sekunder dan tersier. Hasil yang sedikit itupun
kadang harus disisihkan untuk membayar hutang ke rentenir.
3.
minimnya sinergi antara pemerintah dan stakeholder
pembangunan perikanan kelautan. Kita ambil contoh bagaimana antar departemen
saling berebut “mangsa” nelayan untuk dijadikan obyek proyek pengentasan
kemiskinan. Ini menunjukkan ego sektoral dan rendahnya komitmen berpihak kepada
nelayan, lemahnya koordinasi antar departemen atau dinas dalam pengentasan
kemiskinan nelayan membuat program yang saling tumpang tindih akhirnya menindih
nelayan sehingga semakin miskin.
Boleh jadi banyak bantuan,
namun karena tidak adanya spirit kebersamaan dan integralitas antar sector
membuat bantuan akhirnya menjadi “bancakan” yang tidak meninggalkan bekas di
hati nelayan. Sinergisitas di pemerintahan sangat sulit dilaksanakan dan
pemerintah juga kurang menyapa stakeholder swasta, ormas, LSM sebagai pilar
yang terlibat secara langsung dalam keseharian kehidupan nelayan.
Selama ini pemerintah sering
tidak memahami masalah serta tugasnya dalam menangani kemiskinan di nelayan,
sehingga karena memiliki dana yang penting penyerapan anggaran tercapai. Kegagalan
dari suatu program pemberdayaan dapat berupa besarnya nilai kemacetan dana
bergulir yang akan dikembangkan, penyelewengan penggunaan dana untuk
kepentingan di luar program, bubarnya institusi-institusi sosial ekonomi yang
dibangun setelah pelaksanaan program berakhir, dan kondisi sosial ekonomi atau
kesejahteraan masyarakat nelayan tidak meningkat.akhirnya, kontinuitas kegiatan
pemberdayaan terhenti di tengah jalan. Kegagalan tersebut disebabkan oleh
aplikasi program pemberdayaan yang kerap tidak dikerangkai oleh struktur sosial
budaya lokal, baik yang berhubungan dengan masalah institusi maupun dengan
sistem pembagian kerja yang berlaku dalam masyarakat nelayan. Akibatnya
program-program pemberdayaan tersebut menjadi asing bagi masyarakat nelayan
setempat, dan ironisnya, institusi bentukan program pemberdayaan yang baru
sering diperhadapkan dengan institusi-institusi lokal secara antagonistis.
Sehingga, apatisme masyarakat terhadap strategi pelaksanaan program
pemberdayaan yang demikian semakin berkembang dan menimbulkan resistensi sosial
yang berdampak pada penciptaan hambatan strategi terhadap keberhasilan program
pemberdayaan.
Dalam terciptanya efektivitas
dan efisiensi program pemberdayaan masyarakat nelayan seharusnya tidak dilakukan
secara parsial, mengingat permasalahan kenelayanan sangat kompleks. Program IDT
(Inpres Desa Tertinggal), PDKP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan)
hingga PEMP lebih diarahkan untuk kegiatan ekonomi produktif dan fisik. Khusus
untuk program PEMP yang mulai diluncurkan sejak tahun 2001 hingga sekarang,
sepenuhnya difokuskan pada pembangunan kegiatan ekonomi produktif dan berlaku
seragam untuk untuk seluruh desa nelayan Indonesia. Kegiatan yang hanya terlalu
bertumpu pada peningkatan perekonomian (economic growth) akan menciptakan
eksternalitas negatif di sektor kelautan dan perikanan, seperti kerusakan
lingkungan sumberdaya pesisir dan laut.
Hal lain yang sangat
berpengaruh dalam tercapainya keberhasilan pelaksanaan program pemberdayaan
yang kadang terlupakan dari kebijakan pemerintah adalah peran dan keterlibatan
kaum perempuan atau isteri-isteri nelayan. Keterlibatan perempuan dalam mencari
nafkah untuk keluarga di wilayah pesisir atau desa-desa nelayan tidak terlepas
dari sistem pembagian kerja secara seksual (the division of labour by sex) yang
berlaku pada masyarakat setempat.
Kaum perempuan biasanya
terlibat penuh dalam kegiatan pranata-pranata sosial ekonomi yang mereka
bentuk, seperti arisan, kegiatan pengajian berdimensi kepentingan ekonomi,
simpan pinjam, dan jaringan sosial yang bisa mereka manfaatkan untuk menunjang
kelangsungan hidup keluarga. Hadirnya pranata-pranata tersebut merupakan
strategi adaptasi masyarakat nelayan dalam menghadapi kesulitan hidup yang
dihadapinya, strategi adaptasi diartikan sebagai pilihan tindakan yang bersifat
rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial, politik, ekonomi
dan ekologi, dimana penduduk miskin itu hidup. Dengan demikian, kaum perempuan
dan pranata-pranata sosial budaya yang ada merupakan potensi pembangunan
masyarakat nelayan yang bisa dieksplorasi untuk mengatasi kemiskinan dan
kesulitas ekonomi lainnya.
Menciptakan masyarakat nelayan
tangguh dan sejahtera diperlukan pemberdayaan yang berbasiskan pada
sosial-budaya masyarakat lokal. Karena, karakteristik masyarakat dan sumberdaya
serta permasalahan yanga ada di wilayah pesisir dan laut sangat complicated dan
beragam. Oleh karena itu, kombinasi modal alami (natural resources) dan modal
sosial (social kapital) tersebut akan menjadi kekuatan kelautan Indonesia yang
luar biasa, suatu kekuatan yang terlupakan selama 32 tahun.
Daftar Pustaka
Kusnadi,
2003, Akar Kemiskinan Nelayan, LkiS, Yogyakarta.
Subscribe to:
Posts (Atom)