Nelayan Rembang |
Kabupaten Rembang adalah satu dari puluhan kabupaten di Jawa tengah yang memiliki wilayah laut. sejak dulu Rembang selalu mengandalkan berbagai hasillaut sebagi sektor yang menjanjikan berkembangnya perekonomian di Rembang, pelabuhan yang sudah ada sejak lama bahkan sejak Kerajaan Majapahit membuat masyarakat nelayan Rembang merupakan nelayan mandiri yang tahan terhadap berbagai dinamikayang menyangkut krhidupan sosial ekonomi mereka, namun tahukan kalian bahwa nelayan kerap di kaitkan dengan kemiskinan? jika diabandingkan dengan perkampungan lain, suasana kumuh serta kehidupan yang tak layak kerap menjadi sasaran empuk kelamnya kebodohan serta kemiskinan.pemikiran monoton merekalah yang ternyata kemiskinan ini menjadi berakar kuat hingga kini di kehidupan para nelayan kita termasuk di Kabupaten Rembang. Mari kita simak buku Akar kemiskinan Nelayan karya Kusnadi yang diterbitkan LkiS Yogyakarta berikit ini:
Dari masa ke masa kehidupan nelayan semakin dalam kondisi
yang memburuh dibawah garis kemisinan, yaitu hidup dalam ketidak pastian.
Nelayan yang bisa bertahan dan meningkatkan kesejahteran hidupnya adalah
nelayan yang memiliki modal besar yang bisa menjelajahi lautan hingga kelepas
pantai, akan tetapi jumlah mereka relatif kecil. Sebaliknya bagi nelayan
teradisional dengan kepemilikan modal yang relatif kecil, peralatan yang
sederhana harus puas dengan kenyataan pahit dan hidup dalam persaingan yang
keras dalam memperoleh hasil tangkapan.
Masalah kemiskinan merupakan hal yang sangatlah kompleks
yang disebabkan oleh berbagai faktor, sebab-sebab kompleks kemiskinan nelayan
dapat di katagorikan ke dalam 2 hal yaitu:
1.
Bersifat internal
Sebab internal dari kemiskinan nelayan berkaitan dengan
sumber daya manusianya dalam hal ini nelayan dan aktivitas kerja mereka, hal
ini mencakup:
a.
Terbatasnya kualitas sumber daya manusia nelayannya
b.
Keterbatasan kemampuan
modal usaha dan teknologi penangkapan
c.
Hubungan kerja (
pemilik perahu ,nelayan buruh) dalam organisasi penangkapan yang dianggap
merugikan nelayan buruh
d.
Kesulitan melakuan
diversifikasi usaha penangkapan
e.
Ketergantungan tinggi
terhadap okupasi melaut
f.
Gaya hidup yang
dipandang boros sehingga kurang berorientasi kemasa depan.
2.
Bersifat eksternal
Sedangkan sifat kemiskinan eksternal berkaitan dengan
aktivitas kerja nelayan yaitu :
a.
Kebijakan pembangunan
perikanan yang lebih berorientasi pada produktivitas untuk menunjang
pertumbuhan ekonomi nasional dan persial
b.
Sistem pemasaran hasil
perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara
c.
Kerusakan ekologi
pesisir dan laut karena pencemaran dari daerah daratan
d.
Penggunaan peralatan
tangkap yang tidak ramah ingkungan
e.
Penerapan hukum yang
lmah terhadap perusakan lingkungan
f.
Terbatasnya teknologi
pengolahan hasil tangkapan pascapanen
g.
Terbatasnya
peluang-peluang kerja disektor non pendidikan yang tersedia didesa-desa
h.
Kondisi alam dan
fluktuasai musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun
i.
Isilasi geografis desa
nelayan yang menggunakan mobilitas barang, modal dan manusia.
Kedua sebab tersebut saling berinteraksi dan semakin
menambah penderitan dan kemiskinan masyarakat nelayan. Problem kemiskinan masyarakat nelayan mulai muncul ke
permukaan setelah satu dekade dilaksanakannya kebijakan nasional tentang
motorisasi perahu dan modernisasi peralatan tangkap pada awal tahun 1970-an.
Kebijakan ini dikenal dengan istilah revolusi biru (blue revolution). Proyek besar ini berimplikasi pada keserakahan sosial
atas sumber daya perikanan yang mendorong setiap individu untuk berkuasa penuh
terhadap sumber daya tersebut. Keserakahan ini akan berakibat pada kelangkaan
sumber daya perikanan. Kompetisi yang semakin tinggi dan kesenjangan akses dan
pendapatan yang berimplikasi pada timbulnya kesenjangan sosial ekonomi antar
pengguna sumber daya perikanan
Kemiskinan di komunitas
nelayan masuk dalam kategori kemiskinan cultural dan kemiskinan structural.
Jika kita telusuri kemiskinan nelayan sebenarnya hanya karena tiga factor pokok
yaitu;
1.
rendahnya political will pemerintah dalam membangun dunia
kelautan dan perikanan secara integral. Kondisi ini bisa kita lihat
dengan orientasi pembangunan ke perdesaan darat, bukan pesisir. Penempatan
nelayan sebagai obyek pembangunan akhirnya mematikan inisiatif dan daya ungkit
kearifan lokal.
2.
lambannya proses alih teknologi di masyarakat pesisir.
Nelayan luar negeri mencuri ikan di Negara kita dengan kapal serta alat canggih
sehingga hasilnya bisa untuk hidup satu bulan. Kecanggihan teknologi pencuri
ikan telah merugikan Negara hampir 40 trilyun per tahun karena illegal fishing.
Nelayan kita sangat jauh tertinggal secara teknologi, baik penangkapan ataupun
pengolahan. Kapal tangkap yang hanya dilengkapi jaring tradisional hanya bisa
menjangkau puluhan mil dari pantai, hasilnyapun tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan primer, apalagi sekunder dan tersier. Hasil yang sedikit itupun
kadang harus disisihkan untuk membayar hutang ke rentenir.
3.
minimnya sinergi antara pemerintah dan stakeholder
pembangunan perikanan kelautan. Kita ambil contoh bagaimana antar departemen
saling berebut “mangsa” nelayan untuk dijadikan obyek proyek pengentasan
kemiskinan. Ini menunjukkan ego sektoral dan rendahnya komitmen berpihak kepada
nelayan, lemahnya koordinasi antar departemen atau dinas dalam pengentasan
kemiskinan nelayan membuat program yang saling tumpang tindih akhirnya menindih
nelayan sehingga semakin miskin.
Boleh jadi banyak bantuan,
namun karena tidak adanya spirit kebersamaan dan integralitas antar sector
membuat bantuan akhirnya menjadi “bancakan” yang tidak meninggalkan bekas di
hati nelayan. Sinergisitas di pemerintahan sangat sulit dilaksanakan dan
pemerintah juga kurang menyapa stakeholder swasta, ormas, LSM sebagai pilar
yang terlibat secara langsung dalam keseharian kehidupan nelayan.
Selama ini pemerintah sering
tidak memahami masalah serta tugasnya dalam menangani kemiskinan di nelayan,
sehingga karena memiliki dana yang penting penyerapan anggaran tercapai. Kegagalan
dari suatu program pemberdayaan dapat berupa besarnya nilai kemacetan dana
bergulir yang akan dikembangkan, penyelewengan penggunaan dana untuk
kepentingan di luar program, bubarnya institusi-institusi sosial ekonomi yang
dibangun setelah pelaksanaan program berakhir, dan kondisi sosial ekonomi atau
kesejahteraan masyarakat nelayan tidak meningkat.akhirnya, kontinuitas kegiatan
pemberdayaan terhenti di tengah jalan. Kegagalan tersebut disebabkan oleh
aplikasi program pemberdayaan yang kerap tidak dikerangkai oleh struktur sosial
budaya lokal, baik yang berhubungan dengan masalah institusi maupun dengan
sistem pembagian kerja yang berlaku dalam masyarakat nelayan. Akibatnya
program-program pemberdayaan tersebut menjadi asing bagi masyarakat nelayan
setempat, dan ironisnya, institusi bentukan program pemberdayaan yang baru
sering diperhadapkan dengan institusi-institusi lokal secara antagonistis.
Sehingga, apatisme masyarakat terhadap strategi pelaksanaan program
pemberdayaan yang demikian semakin berkembang dan menimbulkan resistensi sosial
yang berdampak pada penciptaan hambatan strategi terhadap keberhasilan program
pemberdayaan.
Dalam terciptanya efektivitas
dan efisiensi program pemberdayaan masyarakat nelayan seharusnya tidak dilakukan
secara parsial, mengingat permasalahan kenelayanan sangat kompleks. Program IDT
(Inpres Desa Tertinggal), PDKP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan)
hingga PEMP lebih diarahkan untuk kegiatan ekonomi produktif dan fisik. Khusus
untuk program PEMP yang mulai diluncurkan sejak tahun 2001 hingga sekarang,
sepenuhnya difokuskan pada pembangunan kegiatan ekonomi produktif dan berlaku
seragam untuk untuk seluruh desa nelayan Indonesia. Kegiatan yang hanya terlalu
bertumpu pada peningkatan perekonomian (economic growth) akan menciptakan
eksternalitas negatif di sektor kelautan dan perikanan, seperti kerusakan
lingkungan sumberdaya pesisir dan laut.
Hal lain yang sangat
berpengaruh dalam tercapainya keberhasilan pelaksanaan program pemberdayaan
yang kadang terlupakan dari kebijakan pemerintah adalah peran dan keterlibatan
kaum perempuan atau isteri-isteri nelayan. Keterlibatan perempuan dalam mencari
nafkah untuk keluarga di wilayah pesisir atau desa-desa nelayan tidak terlepas
dari sistem pembagian kerja secara seksual (the division of labour by sex) yang
berlaku pada masyarakat setempat.
Kaum perempuan biasanya
terlibat penuh dalam kegiatan pranata-pranata sosial ekonomi yang mereka
bentuk, seperti arisan, kegiatan pengajian berdimensi kepentingan ekonomi,
simpan pinjam, dan jaringan sosial yang bisa mereka manfaatkan untuk menunjang
kelangsungan hidup keluarga. Hadirnya pranata-pranata tersebut merupakan
strategi adaptasi masyarakat nelayan dalam menghadapi kesulitan hidup yang
dihadapinya, strategi adaptasi diartikan sebagai pilihan tindakan yang bersifat
rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial, politik, ekonomi
dan ekologi, dimana penduduk miskin itu hidup. Dengan demikian, kaum perempuan
dan pranata-pranata sosial budaya yang ada merupakan potensi pembangunan
masyarakat nelayan yang bisa dieksplorasi untuk mengatasi kemiskinan dan
kesulitas ekonomi lainnya.
Menciptakan masyarakat nelayan
tangguh dan sejahtera diperlukan pemberdayaan yang berbasiskan pada
sosial-budaya masyarakat lokal. Karena, karakteristik masyarakat dan sumberdaya
serta permasalahan yanga ada di wilayah pesisir dan laut sangat complicated dan
beragam. Oleh karena itu, kombinasi modal alami (natural resources) dan modal
sosial (social kapital) tersebut akan menjadi kekuatan kelautan Indonesia yang
luar biasa, suatu kekuatan yang terlupakan selama 32 tahun.
Daftar Pustaka
Kusnadi,
2003, Akar Kemiskinan Nelayan, LkiS, Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment